Perempuan itu merdeka. Merdeka adalah bebas. Bebas adalah ekspresi. Ekspresi adalah cipta seni. Maka, perempuan adalah seni. Karya cipta yang dipandang, dijadikan hiasan, dan diperjualbelikan. ~Dila~
Halo. Masih dalam suasana perayaan hari kemerdekaan. Dalam postingan kali ini, saya ingin memaknai 72 tahun kemerdekaan Indonesia dengan berbagi pendapat tentang kebebasan perempuan era modern. Di sini saya meminjam kalimatnya ‘Pidi Baiq’ dalam novel “Milea—Suara Dilan”, yaitu bebas merdeka tanpa tedeng aling-aling. Seperti bebas mengungkapkan perasaan ke cowok! Itu contoh.
Saya tertarik dengan isu-isu gender dan feminisme setelah menerima mata kuliah Komunikasi dalam Perspektif Gender di semester lima yang dibawakan oleh salah seorang Dosen di kampus. Atas dasar tersebut, akhirnya saya mencoba mempelajari dengan mengangkatnya sebagai fokus penelitian dalam skripsi yang saat ini sedang kugarap. On the way to graduate. Yeay!
Lalu, apa yang menarik tentang perempuan? Kita selalu mendengar ungkapan, ‘laki-laki sukses karena ada perempuan yang hebat di belakangnya’. Benarkah perempuan akan selalu berada di belakang laki-laki?
Sekarang, setiap orang punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri, baik laki-laki maupun perempuan. Kamu pasti tahu bagaimana R.A. Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan. Bagaimana Kartini mendobrak pakem-pakem yang tertanam dalam masyarakat, bahwa perempuan hanya berkisar pada ‘kasur, sumur dan dapur’. Saya tidak usah terlalu menceritakan sejarah ini, saya yakin kamu pasti akan bosan membacanya.
Lupakan tentang ‘kasur, sumur dan dapur’, sekarang perempuan era modern tidak lagi berkutat pada tiga hal itu. Gerakan emansipasi wanita mengantarkan para perempuan menuju gerbang kebebasan. Bebas dalam hal apa? Bebas bepergian hingga larut malam, nongkrong di tempat-tempat hiburan malam, bebas bepergian dengan lawan jenis tanpa ikatan (read: pacaran), atau bebas memamerkan kemolekan tubuhnya di depan umum. Kebebasan semacam itu bukan menjadi tujuan digaungkannya emansipasi. Ingat, emansipasi adalah sebuah gerakan, bukan perlawanan.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah terjadi degradasi moralitas perempuan lantaran kesalahan memahami kebebasan itu sendiri. Perempuan merasa merdeka akan dirinya, merasa bebas akan tubuhnya. Apakah ini yang dimaksud kemerdekaan? Di mana hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi sudah lumrah di masyarakat. Bahkan terjadi pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa lagi yang perlu diperdebatkan sementara hal tersebut jelas-jelas telah menjadi racun bagi kaum generasi muda.
Sejujurnya, saya salut akan kinerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam memfilter tayangan-tayangan yang berbau pornografi di televisi, namun tetap saja perempuan dijadikan komoditas atau barang dagangan untuk meraup keuntungan media. Media tidak akan memperoleh rating yang tinggi tanpa menampilkan wajah-wajah cantik, molek nan seksi di layar televisi. Perempuan bebas berekspresi di dalamnya. Mereka sama-sama memperoleh keuntungan dengan menjual moralitas. Namun, inikah yang disebut kemerdekaan?
Ketika emansipasi wanita disuarakan, digerakkan, perempuan telah bebas dari kungkungan adat. Tidak ada lagi ikatan-ikatan kultural yang dapat membelenggu kebebasan perempuan. Saat itu perempuan telah dianggap merdeka akan dirinya.
Lalu, seiring perkembangan waktu, kemerdekaan yang diperjuangkan jaman dahulu seakan sia-sia. Seperti buah pohon yang berjatuhan. Bukan merdeka namanya jika kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi. Dikutip dari tirto.id, berdasarkan laporan tahunan Komnas Perempuan 2017, tercatat ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun lalu. Apa yang menjadi sebab?
Ialah cara pandang laki-laki terhadap perempuan. Stereotip dan stigma mengenai perempuan masih melekat bahwa perempuan hanyalah pemuas nafsu belaka. Apalagi mereka (perempuan) yang tidak melindungi tubuhnya dari pakaian tertutup. Mereka (laki-laki) masih beranggapan bahwa perempuan tugasnya hanya berada di rumah, mengurus anak atau di dapur saja sementara laki-laki bertugas mencari nafkah. Padahal, pekerjaan rumah tangga jauh lebih mulia dari pekerjaan mencari nafkah. Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya. Namun, hanya sedikit yang mampu memahami hal itu.
Di era modernisasi seperti sekarang ini, kita seolah-olah kembali ke zaman di mana hak laki-laki dan perempuan masih timpang. Kita telah merdeka akan tubuh, tetapi tidak dengan jiwa. Kita boleh bebas terbang setinggi langit, pergi kemana pun yang kita sukai, berkarir dan memiliki jabatan yang tinggi, tetapi apakah semua itu membuat kita merasa tenang dan bahagia? Apakah jiwa kita telah merdeka?
Barangkali kemerdekaan hanya dinilai pada apa yang tampak dari luar. Seperti halnya bangsa Indonesia yang secara lisan dan tertulis telah dinyatakan bebas dari penjajahan, tetapi nyatanya masih banyak rakyat yang menderita. Bukan begitu?
Gowa|19/08/2017|7:05