Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa masih ada 433 desa di Indonesia yang saat ini belum mendapatkan listrik. 325 desa di Papua, 102 desa di Papua Barat, lima desa di Nusa Tenggara Timur dan satu desa di Maluku. Salah satu kendalanya ialah masalah infrastruktur karena berada di daerah terpencil.
Oleh karena itu diperlukan 1000 gagasan dan strategi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah membangun pembangkit lokal di daerah terpencil.Pembangkit ini berupa sumber energi terbarukan yaitu Surya (solar), air (hydro), angin (wind), panas bumi (geothermal), bioenergi (biomassa), serta gelombang laut (Ocean or Marine Energy), berdasarkan apa yang tersedia di Desa.
Indonesia memiliki potensi tenaga surya yang melimpah, begitu pula dengan air dan angin. Sumber-sumber energi tersebut, sebagian besar berkaitan langsung dengan keberadaan hutan dan kelestariannya. Hutan sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam menyimpan hampir semua energi yang dibutuhkan manusia. Tidak hanya menyediakan sumber energi, hutan juga berfungsi sebagai penangkal dampak buruk perubahan iklim.Tentu saja hal ini akan berdampak dari sisi ekonomi dimana menjaga hutan sebagai upaya mitigasi termurah dalam melawan dampak perubahan iklim.
Namun, kelestarian hutan tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan serta sosial masyarakat yang berada di sekitarnya. Diperlukan keterlibatan dan partisipasi aktif dari banyak pihak terutama masyarakat untuk melindungi hutan dan menjaga kelestariannya.
Apabila hutan tidak dijaga, potensi energi terbarukan akan menjadi sangat terbatas. Selama ini, pelibatan masyarakat hanya sebatas mengeksploitasi kayu atau hasil hutan lainnya ke dalam berbagai bentuk produk yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti kursi, tisu, meja dan lain-lain. Namun melupakan peranan penting hutan sebagai penyedia energi yang lebih bersih, lebih murah, dan paling tidak senyaman bahan bakar fosil.
Oleh karena itu diperlukan perubahan pendekatan agar masyarakat lebih memahami manfaat dan fungsi hutan, yaitu salah satunya dengan mengajak mereka memanfaatkan jasa hutan seperti tenaga air sebagai pembangkit listrik mikrohidro tanpa kerusakan hutan (deforestation).
Lantas bagaimana memanfaatkan energi terbarukan tanpa merusak hutan?
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro sangat penting dalam membantu pemerintah menanggulangi krisis energi yang sedang terjadi saat ini terutama untuk meningkatkan rasio kelistrikan pada daerah-daerah yang tidak mampu dijangkau jaringan listrik PLN (Perusahaan Listrik Negara). Dari sisi kehutanan, kegiatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) diarahkan untuk meningkatkan komitmen masyarakat untuk memelihara hutan.
Mikrohidro dianggap sebagai sebuah teknologi karbon netral, yaitu teknologi yang tidak menambah jumlah bersih CO2 di atmosfer. Dianggap demikian karena Mikrohidro memiliki cara kerja yang cukup sederhana, yaitu hanya dengan memanfaatkan energi potensial air di ketinggian tertentu yang dikonversi menjadi energi kinetik untuk menggerakkan turbin penghasil listrik. Sehingga pembangkit tenaga listrik ini sangat ramah lingkungan dan berpotensi menjaga kelestarian hutan.
Sudahkah Indonesia menggunakan energi terbarukan?
Pada pertengahan 2010, ada sekitar 60 pembangkit listrik tenaga air berskala kecil dibangun di berbagai wilayah di Indonesia. Contohnya, salah satu daerah pedalaman di Sulawesi Selatan, Bulukumba, lebih tepatnya di Kampung Kayu Biranga, Lingkungan Banteng Senggang, Kelurahan Borong Rappoa, Kecamatan Kindang, yang sekitar enam tahun lalu baru bisa menikmati listrik.
Untuk memasang pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini, mereka masing-masing mengharuskan merogoh kocek pribadi sebesar Rp3 juta setiap kepala keluarga. Sebab, saat itu dana membangun pembangkit mikrohidro ini tidak memakai dana pemerintah. Akhirnya PLTMH yang dibangun pada tahun 2015 tersebut bisa memproduksi 15 ribu watt dan menerangi kampung Biranga.
Dengan adanya mikrohidro, masyarakat bisa menghemat. Karena mereka tidak lagi mengeluarkan biaya untuk bahan bakar genset. Sebelumnya, untuk penerangan selama 4 jam yakni pukul 6 petang hingga 10 malam, mereka harus mengeluarkan biaya Rp 10 ribu untuk 22 liter bensin. Jika diakumulasikan, pengeluaran mereka dalam satu bulan untuk penerangan dengan waktu terbatas itu sebesar Rp600 ribu.
Selain itu, warga juga menghemat biaya pengeluaran untuk peralatan pertukangan. Untuk membangun 1 buah genset memakan waktu 1 hingga 2 bulan. Sedangkan kebutuhan bahan bakarnya, lima liter bensin per hari. Warga tidak perlu lagi menggunakan lampu pelita yang menggunakan minyak tanah. Sebelumnya, untuk 1 pelita saja mereka harus menggeluarkan uang Rp12 ribu per liter untuk membeli bahan bakar minyak sebanyak 2 liter.
Meski memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan beragam, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia, utamanya untuk tenaga kelistrikan masih sangat terbatas. Saat ini pemerintah masih terus berusaha meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Tahun lalu, pemerintah menyebut akan kembali melakukan identifikasi terhadap 433 desa yang belum teraliri listrik. Setelah identifikasi dilakukan PLN akan menganggarkan Rp735 miliar untuk membangun stasiun pengisian energi listrik (SPEL) di 433 desa tersebut.
Beberapa tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah biaya. Pemenuhan kebutuhan energi Indonesia untuk listrik, transportasi dan industri masih bergantung pada energi fosil yang tersedia secara luas dan lebih murah karena subsidi harga. Selain itu, kebijakan dalam negeri saat ini juga dinilai belum kondusif oleh para investor sehingga mereka kurang berminat untuk berinvestasi di sektor energi terbarukan, misalnya minimnya insentif untuk pengembang dan dinamika perubahan kebijakan yang berubah-ubah.
Sementara dalam proses pemeliharaan dan perawatan, kapasitas sumber daya manusia masih perlu ditingkatkan. Dalam beberapa kasus, pembangkit listrik energi terbarukan yang dibangun pemerintah pusat diserahkan ke pemerintah daerah, sehingga apabila pengoperasian dan perawatan tidak berjalan dengan baik pembangkit tersebut akhirnya mangkrak.
Pengembangan energi terbarukan untuk kelistrikan dan beragam sektor lain seharusnya mendapatkan prioritas
yang tinggi dan dukungan yang jelas. Mikrohidro dibangun bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan listrik tetapi bagaimana masyarakat menjaga hutan. Masyarakat perlu memahami bahwa tujuan pemanfaatan energi terbarukan yang bersumber dari hutan adalah menggantikan energi yang selama ini bersumber dari fosil yang berdampak buruk bagi lingkungan. Maka sudah sepatutnya masyarakat menjaga kelestarian hutan. Sebab, dengan menjaga hutan, sama dengan menjaga sumber energi yang memiliki dampak besar bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Source:
N. I. Faruqui, Small Hydro for Rural Development (1994)
Abubakar Lubis, Energi Terbarukan dalam pembangunan berkelanjutan (2007)
http://iesr.or.id/wp-content/uploads/2019/08/Buletin-EnergiKita-Juli-2019.pdf
Katadata.co,id
Mongabay.co.id
One thought on “Hidupkan Daerah Terpencil dengan Energi Air”