Seiring pertumbuhan penduduk yang pesat, pembangunan dan industrialisasi terus berkembang. Namun sayangnya, industrialisasi di samping mempercepat persediaan kebutuhan manusia, juga memberi dampak negatif akibat terjadinya pencemaran lingkungan.
Setiap hari manusia menghasilkan berton-ton sampah, khususnya sampah plastik yang sulit terurai. Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton. Setiap tahun produksi plastik menghasilkan sekitar 8 % hasil produksi minyak dunia atau sekitar 12 juta barel minyak atau setara 14 juta pohon. Lebih dari satu juta kantong plastik digunakan setiap menitnya dan 50 % dari kantong plastik tersebut dipakai hanya sekali lalu langsung dibuang. Dari angka tersebut, menurut Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK hanya 5% yang benar-benar didaur ulang.
Dilansir dari DetikNews.com, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan data timbunan sampah di Indonesia di 2020 mencapai 67,8 ton. Apalagi selama masa pandemi Covid-19, jumlah sampah belanja semakin meningkat. Dilansir dari BBC Indonesia, jumlah layanan GoFood meningkat hingga 20% sementara GrabFood sebesar 4%. Berdasarkan survey LIPI pada 20 April hingga 5 Mei 2020 menyebutkan bahwa aktivitas belanja online juga meningkat hingga 62% dengan 96% dari total jumlah paket menggunakan selotip, pembungkus plastik, dan bubble wrap. Pembelian alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, dan face shield juga meningkat dari 4% menjadi 36%.
Mengacu pada data tersebut, beberapa tahun belakangan ini muncul istilah “go green” yang menjadi semboyan baru bagi sebagian besar masyarakat. Go green adalah suatu gaya hidup yang ramah lingkungan. Kesadaran mencintai lingkungan dan menjaga kelestariannya menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat seiring berkembangnya komunitas-komunitas lingkungan yang dipimpin anak-anak muda Indonesia.
Dahulu, kita menggunakan kantong plastik sekali pakai yang diperoleh dari supermarket atau gerai ritel lainnya, namun kini beberapa perusahaan mulai mengubah kebiasaan dari penggunaan kantong plastik menjadi green bag atau kantong yang ramah lingkungan. Penyediaan green bag hampir selalu ada di setiap gerai ritel modern. Hanya saja, pengenalan green bag sebagai salah satu solusi pengganti plastik ini membutuhkan sosialisasi yang cukup matang. Pasalnya, masyarakat masih menganggap bahwa plastik lebih praktis digunakan karena hanya dipakai sekali. Padahal, penggunaan green bag dapat menghemat biaya sebab bisa dipakai berulang kali.
Pada tahun 2019, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) kembali menerapkan kantong belanja plastik yang berbayar di setiap gerai ritel modern. Menurut Aprindo, kebijakan ini sekiranya dapat mengurangi sampah plastik sebesar 30%.
Tak hanya gerai-gerai ritel yang mencoba mengurangi sampah plastik, beberapa produk-produk perusahaan juga sudah mulai menerapkan green marketing. Green marketing ialah pemasaran produk yang dapat dikatakan ramah lingkungan. Produk-produk yang ditawarkannya diikuti dengan kampanye marketing dengan menempelkan label “eco-friendly”. Misalnya, pakaian dan tas yang ramah lingkungan, sedotan stainless steel untuk dipakai berulang kali, hingga botol air minum. Namun, seberapa besar upaya ini mampu mendorong kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan?
Kehadiran produk-produk eco-friendly tidak bisa berkembang jika tidak ada konsumen yang peduli terhadap produk berwawasan lingkungan atau yang disebut green consumers. Artinya, sebuah brand atau produk yang berfokus terhadap pengelolaan sampah akan mempengaruhi konsumen yang memiliki perhatian besar pada isu-isu lingkungan. Di Amerika pada tahun 2005, segmen pasar yang berwawasan lingkungan atau yang dikenal sebagai segmen LOHAS (Lifestyles of Health and Sustainability) mencapai 23 persen dari total keseluruhan penduduk di Amerika serikat (French and Rogers, 2005). Di Indonesia sendiri meskipun data tentang green consumers belum bisa diprediksi besarannya, namun dapat dipastikan bahwa jumlahnya akan terus meningkat dari tahun ke tahun, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan.
Kehadiran produk-produk eco-friendly bertujuan ingin menyampaikan bahwa ketika konsumen membelinya akan ada nilai lebih karena selain dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga dapat berkontribusi dalam menjaga lingkungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa green marketing merupakan konsep yang mengacu pada pemenuhan kebutuhan konsumen dengan berusaha meminimalkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa green marketing memiliki pengaruh terhadap brand image suatu perusahaan. Artinya dengan menggunakan konsep green marketing dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, dapat serta merta meningkatkan brand image yang jauh lebih baik. Apabila suatu produk memeiliki image yang baik, tentu akan berdampak positif terhadap penilaian produk di mata masyarakat. Dan sebaliknya, apabila produk mengalami masalah yang dapat mencemarkan nama baik perusahaan maka konsumen secara tidak langsung akan berpindah ke produk yang lain.
Lantas bagaimana mengubah masyarakat menjadi green consumers? Hal ini dapat dimulai melalui kampanye-kampanye kesadaran lingkungan yang dibentuk oleh komunitas atau perusahaan yang berorientasi pada kepedulian lingkungan. Salah satunya adalah Waste Management Indonesia (waste4change), sebuah perusahaan pengelolaan sampah yang memiliki misi mengurangi jumlah sampah yang berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). AKABIS (Akademi Bijak Sampah) yang merupakan salah satu program kampanye waste4change ini merupakan model edukasi yang dibuat untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya menjaga lingkungan, terutama mengenai pengelolaan sampah. Uniknya, program ini tidak hanya memberikan edukasi di dalam ruangan tetapi juga terjun langsung ke lapangan untuk melihat lebih dekat seperti apa proses pengelolaan sampah yang bertanggungjawab. Dengan model kampanye seperti ini, masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan semakin banyak dan secara otomatis mempengaruhi gaya konsumsi masyarakat yang jauh lebih ramah lingkungan.
Lalu bagaimana dengan produk-produk yang belum ramah lingkungan? Ternyata, waste4change punya solusi yang sangat efektif untuk mengurangi sampah-sampah yang berlabel merek melalui layanan extended producer responsibility. Layanan ini memiliki dua cara. Pertama, in-store recycling, yakni mendaur ulang materi dari sampah berlabel merek. Selain membantu meningkatkan daur ulang, juga mencegah produk-produk bermerek disalahgunakan oleh pebisnis lain. Kedua, Digital EPR, yakni mendaur ulang materi dari sampah berlabel merek berbasis aplikasi dan website. Dengan teknologi digital ini, proses daur ulang dapat menjangkau lebih luas hingga ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Dengan demikian, satu-satunya upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga dan menyelamatkan bumi kita dari berbagai kerusakan adalah sikap dan kesadaran masing-masing individu agar hidup lebih bijak dalam mengelola sampah-sampah yang dihasilkan di kehidupan sehari-hari.
Referensi bacaan:
-Jurnal Gizel Gynalda Kartono dan I Gede Ketut Warmika tentang “Pengaruh Green Marketing terhadap Brand Loyalty yag dimediasi oleh Brand Image” (2018)
-Jurnal Lina Markha Masturoh tentang “Pengaruh Green Product, Green Advertising, dan Green Brand terhadap keputusan pembelian konsumenpada produk green bag di Carrefour Kota Malang”
-https://waste4change.com/official/
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Waste4Change Sebarkan Semangat Bijak Kelola Sampah 2021.
*Penulis: Nurfadhilah Bahar
2 thoughts on “Green Marketing dan Green Consumer Behavior: Solusi Menyelamatkan Bumi”