Belajar Mandiri dan Biaya Hidup #Jakarta eps. 3

“Merantaulah! Kau akan dapat pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.” –Imam Syafi’i-

Merantau adalah cara terbaik untuk keluar dari zona nyaman. Di kampung halaman, kita tinggal bersama orang tua. Apa yang kita butuhkan selalu ada. Kita ingin makan, ada yang masak. Kita butuh uang, langsung diberi. Orang tua tidak akan mau melihat anak-anaknya mengalami kesusahan. Kondisi seperti ini tidak akan membantu kita untuk berkembang, tidak akan bisa memunculkan potensi diri kita dan tidak akan bisa belajar mandiri.

Saya selalu bercita-cita keluar kota untuk belajar. Tetapi orang tua tidak mengizinkan. Apalagi jika sendirian. Apalagi saya adalah seorang perempuan. Keyakinan tanpa dukungan orang tua membuat saya terasa berat melangkahkan kaki. Ayah saya memberikan kesempatan untuk ke Jakarta. Katanya, ‘biar kamu bisa tahu bagaimana rasanya tinggal di sana.’

And then, saya enjoy! Suka sama tantangan. Saya berniat bekerja di media itu setelah sarjana dan menghidupi kebutuhan sendiri. Tapi Ayah saya bilang, “percuma kalau kamu kerja di Jakarta, tapi kebutuhanmu lebih besar daripada gajimu. Mending kamu di sini saja.” Jleb! Saya speechless. Bisa-bisa saya malah merepotkan orang lain atau malah merepotkan Ayah sendiri. Tapi saya yakin jalan menuju kebaikan selalu ada.

Well, kita lanjut pengalaman saya ketika berada di Jakarta. Ini benar-benar pengalaman pertama saya nge-kost dan jauh dari keluarga. Pertama yang saya lakukan adalah membeli kebutuhan sehari-hari. Beruntung, warung berada tepat di depan kamar kosan, kami tidak usah terlalu jauh untuk berbelanja kebutuhan dasar.

Aku dan Zella agak sedikit menyesal membawa pakaian yang cukup banyak. Karena nyatanya tidak semua terpakai. Di kantor, anak magang atau pegawai Trans diwajibkan memakai baju dan celana/rok hitam di hari kerja. Apalagi saat pulang ke Makassar nanti, barang bawaan pasti makin bertambah banyak. Jadi, kalau kalian para perantau pemula seperti kami, jangan terlalu banyak membawa barang dari kampung. Kecuali kalau di tempat tujuanmu tidak ada supermarket atau toko.

Di kosan, tidak ada ruang untuk memasak. Tidak ada kompor gas. Jadi, masak nasi dengan bermodal rice cooker yang kubawa dari rumah. Untung Mama saya sempat membelikan rice cooker mini sebelum berangkat.

Kami sebenarnya lebih sering makan di luar. Sebelum berangkat ke kantor, kami singgah di warung kecil dekat kosan. Kalau lagi ‘kaya’, kadang kami ke warung makan dekat kantor. Tapi kalau sedang mengalami ‘krisis moneter’, masak nasi dan beli lauk sudah cukup.

Saya ingin sedikit berbagi info mengenai estimasi biaya hidup di Jakarta. Buat kamu yang memang benar-benar serius untuk meniti karir di kota, sangat perlu untuk memperhatikan terlebih dahulu kondisi keuangan. Sekali lagi, hidup di Jakarta itu tidak mudah. Jika mau cari kerja, setidak-tidaknya ada cukup uang yang kamu bawa.

Pertama, kamu perlu menyewa kosan untuk tinggal. Anggap saja, biaya tempat tinggalmu seharga Rp. 1,2 juta/bulan. Dengan berbagai fasilitas seperti kasur springbed, kamar mandi dalam, lemari, pendingin ruangan. Apabila kamu tinggal selama dua bulan, maka biaya yang harus kamu keluarkan sebanyak 2,4 juta.

Di Jakarta, kamu bisa menemukan segala macam jenis transportasi. Kamu bisa naik Transjakarta, angkutan umum (kopaja/metromini), kereta, dan transportasi online (Gojek, Grab, Uber). Nah, Rp. 3.500 saja kamu sudah bisa naik Transjakarta dan angkutan umum. Jika mau lebih cepat, kamu bisa memesan transportasi online, harga Rp. 12.000 kamu bisa sampai pada tujuan. Anggap saja kamu menggunakan trasportasi umum setiap ke kantor (44 hari misalnya), biayanya bisa Rp. 308 ribu (pulang/pergi).

Untuk berhemat, kamu juga bisa bersepeda ke kantor. Bersepada ke kantor (Bike to Work) sudah menjadi gaya hidup di Jakarta. Kalau perlu kamu berjalan kaki saja kalau kantor tidak terlalu jauh. Jangan gengsi kalau mau sukses. Gengsi tidak akan bikin kamu kaya.

Di Jakarta, saya mencoba semua jenis Transportasi. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Nanti bakal kubahas di episode Cerita Ojek Online.

Selain biaya transportasi, tentu kamu juga perlu makan. Harga makanan di Makassar tidak jauh berbeda dengan di Jakarta. Jakarta memiliki segudang tempat makan mulai dari kaki lima hingga bintang lima. Harganya tentu bermacam-macam pula. Dari Rp. 10.000 hingga jutaan. Di Makassar, harga satu porsi bisa sampai Rp. 25.000. Di Jakarta anggap saja Rp.15.000/porsi (harga hemat). Selama satu hari bisa mencapai Rp.50.000. Estimasinya dalam dua bulan kamu mengeluarkan biaya Rp. 3 juta. Biaya tersebut bisa lebih kecil jika kamu cerdas dalam berhemat.

Nah, terakhir tentu kita membutuhkan biaya-biaya bulanan yang seringkali diperlukan. Seperti, peralatan mandi, peralatan rumah, dan biaya tak terduga lainnya. Mungkin Rp. 300 ribu/bulan sudah cukup.

Jika kamu berada di Jakarta selama dua bulan, maka estimasi biaya yang kamu perlukan sebanyak: Rp. 2,4 juta (kosan) + 308 ribu (transportasi) + 3 juta (makan) + 600 ribu (biaya tak terduga) = Rp. 6.308.000. Menurutku, itu biaya yang paling murah jika kamu pandai berhemat.

Di tempat rantau, kita benar-benar diajar untuk berhemat dan bagaimana mengelola keuangan dengan baik. Buat para cowok-cowok, cewek perantau itu adalah istri idaman. Keuangan pribadi saja bisa dikelola, apalagi keuangan rumah tanggamu. Hehe

Resiko pertama kali ketika kita memutuskan untuk merantau adalah jauh dari orang tua, keluarga, teman dan sahabat. Tapi di samping itu semua, Allah selalu menyediakan hal-hal yang baik untuk setiap orang yang mau berusaha. Kita tidak perlu  khawatir tidak memiliki teman di tempat asing. Kita diberi mata untuk menilai orang-orang, diberi telinga untuk mendengar perkataan yang baik, diberi hati untuk memiliki empati dan simpati. Semua itu kita gunakan agar dapat melakukan relasi dengan orang-orang di sekeliling kita. Meskipun kita hidup sendiri, bukan berarti harus menjauh dari kehidupan sosial. Kita harus belajar membuka diri. Di tanah rantau, akan ada orang yang menyayangi kita, akan ada orang yang membela kita dan akan ada orang yang membantu meringankan beban hidup kita.

Eh, kok malah jadi bijak, ya? Kayak sudah merantau bertahun-tahun saja. -,- Sekian dulu deh. See you the next episode.

Baca juga: #1 Rindu Jakarta: Beberapa Hal yang Membuatku Ingin Kembali

#2 Rindu Jakarta: Nyari Kos-Kosan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *