Pentingkah Gerakan Feminisme dan Anti Feminisme?

INT

Feminisme selalu menjadi topik yang menarik untuk dibincangkan, bahkan sejak hadirnya istilah Feminisme itu sendiri. Apalagi belakangan ini mencuat gerakan yang menandingi gerakan feminisme di media sosial, yakni Gerakan Indonesia Tanpa Feminis.

Kebetulan, topik ini menjadi objek penelitian saya dalam skripsi tahun 2017 kemarin. Karena saya tertarik dengan isu-isu feminisme sementara jurusan saya berkaitan dengan media dan journalism, maka saya mengolaborasikan keduanya.

Berbicara soal feminisme, berarti berbicara soal sejarah. Kebanyakan orang selama ini menggembar-gemborkan gerakan feminisme, tapi buta akan sejarahnya. Begitupun sebaliknya.

Semakin ke sini, saya semakin berpikir, sebetulnya Indonesia perlu gak sih gerakan feminisme atau anti feminisme? Dan apakah perempuan muslim perlu gerakan feminisme? Dalam Islam kan, laki-laki dan perempuan sudah setara di sisi Allah.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tulisan ini akan mengajak kamu untuk kembali ke masa lalu jauh sebelum hadirnya Islam. Khusus materi sejarah ini, saya mengadopsi buku dari karya Nawal El-Saadawi, perempuan Arab yang hidup dalam budaya patriarkat.

Adalah suatu hal yang keliru jika kita membincangkan Islam dan feminisme tanpa turut menyeret dua agama monoteistik lainnya yang hadir sebelum Islam, yakni Yahudi dan Kristen.

Jika kita mempelajari sejarah-sejarah kuno, banyak fakta-fakta penting yang berkenaan dengan kedudukan wanita di rumah dan di dalam masyarakat. Kedudukan yang ditempati wanita merupakan kunci untuk memahami alasan-alasan munculnya jalan yang akhirnya menjerumuskan wanita kepada situasi pada masa Yahudi di mana ia sekadar sebuah tulang rusuk dalam tubuh laki-laki.

Peradaban Mesir Kuno telah berusia lebih dari lima ribu tahun dan secara historis mendahului lahirnya agama Yahudi (agama pertama dari tiga agama monoteistik). Orang-orang Mesir Kuno memiliki agama sendiri. Praktek-praktek ritual keagamaan mereka sudah dimulai sebelum agama monoteis masuk ke daerah mereka. Mereka mempercayai adanya dewa.

Dalam kepercayaan mereka, banyak dewa kuno yang berwujud perempuan. Dewa-dewa perempuan itu menguasai banyak bidang dan bekerjasama dengan dewa-dewa laki-laki dalam menentukan takdir manusia.

Naiknya wanita pada tempat yang tinggi seperti yang diduduki oleh dewa-dewa itu adalah cerminan kedudukan mereka dalam masyarakat sebelum munculnya sistem yang dicirikan oleh keluarga patriarkat. Dengan lahirnya sistem-sistem ini, kedudukan wanita perlahan-lahan jatuh merosot selama beberapa periode, namun sisa-sisa sistem patriarkat, terus tumbuh dalam masyarakat feodal atau budak.

Sebenarnya, pola-pola patriarkat itu baru muncul pada tahap belakangan sejarah manusia, bukan awal dari sejarah manusia atau disebut sebagai periode awal peradaban mesir kuno. Malahan, masyarakat pada masa itu menganut sistem yang disebut matriarkat, di mana perempuan memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada laki-laki, bahkan diangkat ke singgasana Dewi.

Contoh sederhana, seorang anak laki-laki sah yang mewarisi nama ibunya biasanya bersifat matrilinial (mengikuti garis Ibu) karena anak perempuan tertentulah yang mewarisi dan bukan anak laki-laki. Perempuan juga bisa menikahi lebih dari satu laki-laki.

Status sosial perempuan ini didasari oleh kondisi ekonomi di masyarakat mereka. Kehidupan pada tahap-tahap awal sejarah manusia masih primitif, di mana hanya sebatas mencari makanan serta tempat tinggal yang berpindah-pindah (nomaden). Sehingga kehidupan seperti ini membuat harta benda pribadi tidak pernah dipersoalkan.

Berbeda di beberapa periode berikutnya yang tidak lagi mungkin laki-laki dan perempuan duduk dalam satu tempat. Sebab, seiring perkembangan teknologi yang semakin maju, muncullah keinginan untuk menguasai kekayaan pribadi.

Dengan meluasnya kekayaan pribadi, masyarakat kuno ini secara tajam terbelah menjadi dua kelas utama: para pemilik tanah atau majikan yang notabene adalah kelompok minoritas dan mayoritas budak yang tidak memiliki apa-apa.

Di sinilah terjadinya kemerosotan status dan kedudukan wanita. Wanita mulai kehilangan wibawa keagamaan mereka yang dulu dan berhenti mengatur serta memipin ritual-ritual keagamaan.

Struktur-struktur lama kemudian diganti dengan sistem-sistem yang didasarkan pada eksploitasi dan wanita dibuang ke dasar terbawah struktur masyarakat. Dengan meningkatnya dominasi laki-laki, sistem patriarkat mulai melenggang mendampingi pembagian masyarakat menjadi pemilik tanah (majikan) dan para budak yang menjadi harta bagi majikannya.

Di sinilah budaya-budaya patriarkat mulai bermain. Perempuan tidak ada bedanya dengan binatang, menjadi budak-budak seksual kaum laki-laki. Suami mulai menuntut kesetiaan penuh dari istrinya. Laki-laki juga mengharapkan kesucian dan keperawanan para gadis yang hendak ia nikahi sementara mereka sendiri bebas menodai perempuan di luar pernikahan secara sah.

Islam kemudian muncul sekitar 700 tahun tatkala agama Kristen sudah menjadi agama yang luas dan mapan. Ajaran pertama Rasulullah diarahkan untuk melawan sistem kelas yang didasarkan pada perbudakan serta melindungi hak-hak orang miskin dan wanita.

Di masa ini, kembali muncul wanita-wanita yang aktif berpatisipasi dalam perjuangan politik, peperangan dan pertempuran-pertempuran. Inilah kondisi pada masa sebelum dan sesudah Islam bahkan selama Nabi Muhammad masih hidup.

Siapa yang tidak mengenal Khadijah, istri pertama Rasulullah. Ia dikenal karena kepribadiannya yang mengesankan, kemandiriannya yang mampu menghidupi dirinya sendiri dengan berdagang dan kebebasannya menentukan pilihannya sendiri. Ia menggunakan kebebasannya ini untuk memilih menikah dengan Muhammad yang 15 tahun lebih muda darinya. Ada Zaenab, istri Muhammad yang mempunyai sikap yang tegas, ada pula Aisyah yang memiliki kemauan kuat, cakap dan logikanya yang tajam.

Inilah saatnya bagi wanita-wanita modern untuk mengenang wanita-wanita tangguh di zaman Rasulullah.

ISLAM dan FEMINISME

Istilah feminisme berasal dari bahasa Prancis, feministe, yang pertama kali digunakan pada 1880-an untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Feministe ini dipelopori oleh Hubertine Auclort dan mulai menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika Serikat melalui New York pada tahun 1906. Jelas, bahwa gerakan feminisme bukan berasal dari Islam dan negara Arab melainkan dari negara Barat.

Dalam skripsi saya, saya mendefinisikannya sebagai sebuah gerakan transformatif yang muncul sebagai bentuk kepedulian terhadap kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat.

Untuk mengetahui bagaimana feminisme itu lahir dan berkembang. kita harus melihat kondisi Barat pada abad pertengahan, di mana masa ini suara-suara feminis mulai terdengar.

Pada abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral kekuatan. Paus sebagai pemimpin gereja menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Nasib perempuan barat tak luput dari kekejian doktrin-doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.

Ada dua doktrin dasar gereja membuat kedudukan perempuan di barat abad pertengahan tak ubahnya seperti binatang. Pertama, gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanitalah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan menuntunnya ke neraka.

Kedua, doktrin gereja menganggap bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita adalah peristiwa kotor walaupun mereka sudah dalam ikatan perkawinan yang sah. Jika seorang pria menginginkan hidup dalam lingkungan agama yang bersih dan murni, maka lelaki tersebut tidak diperbolehkan menikah atau mereka harus berpisah dengan istrinya.

Berangkat dari keterpurukan perempuan pada masa itu, jelaslah membuat suara-suara perempuan yang menginginkan kebebasan semakin menggema.

Revolusi yang terjadi di Eropa membuat gerakan perempuan mandapatkan kesempatan untuk ikut menyarakan kepantingan mereka. Lalu muncullah teori-teori feminisme gelombang pertama yang menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan, yang kemudian lahir beberapa aliran feminisme. Di antaranya Feminisme Liberal, Radikal, Marxis/Sosialis.

Gelombang feminis kedua menitikberatkan pada kesetaraan ekonomi secara penuh bagi perempuan, dan bukan hanya sebatas untuk bertahan secara ekonomi. Feminis gelombang kedua mulai menggugat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis, seksualitas perempuan dll. Teori feminis gelombang kedua ini misalnya Feminisme Psikoanalisa dan Feminisme Eksistensialisme.

Gelombang feminis ketiga, menginginkan keragaman perempuan. Sebagai contoh ketertindasan perempuan putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang dialami oleh perempuan kulita hitam Amerika. Teori feminis gelombang ketiga ini misalnya Feminisme Postmodern dan Feminisme Multikultural.

Lalu jenis atau teori feminisme seperti apa yang seharusnya dianut oleh masyarakat di era modern seperti sekarang ini. Sepengetahuan saya, dari beragam teori atau aliran yang ada, para feminis sendiri belum bersepakat mengenai kesetaraan dan kebebasan seperti apa yang diinginkan oleh kaum perempuan dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.

Seiring dengan berkembangnya gerakan feminisme ini, memunculkan masalah-masalah sosial baru yang membuat peradaban Barat berada di ambang kehancuran. Lazimnya, sebagai sebuah kebebasan yang kebablasan. Misalnya, isu kebebasan telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan negara tidak boleh memberikan sanksi hukum bagi pelakunya.

Kaum perempuan Barat banyak yang memilih untuk tidak menikah dan menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan mereka. Penemuan alat kontrasepsi dan dilegalkannya praktik aborsi telah menjadikan perempuan barat terjerumus dalam pergaulan bebas tanpa takut resiko memiliki anak di luar pernikahan.

Kita tentu tidak boleh begitu gampang menjadikan feminisme sebagai akar pemasalahan dari munculnya kebebasan yang kebablasan ini. Sebab, jika bukan karena budaya patriarkat yang melenggang di beberapa abad sebelumnya, gerakan feminisme ini tidak akan muncul.

Apakah perempuan muslim perlu gerakan feminisme? Dalam Islam kan, laki-laki dan perempuan sudah setara di sisi Allah. Menjawab pertanyaan ini saya ingin mengutip pernyataan salah seorang dosen saya yang bernama Rahmawati Latief, Pengampuh mata kuliah Komunikasi dalam Perspektif Gender, menyebutkan bahwa di dalam islam, tidak ada istilah feminisme. Sebab, dari awal islam hadir sebagai sebuah sistem yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Artinya, perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama di sisi Allah.

Akan tetapi, secara substansi, feminisme dan ajaran islam memiliki kesamaan. Yaitu kebebasan. Dalam Islam, kebebasan yang dimaksud adalah adanya batas-batas tertentu. Kebebasan perempuan yang diajarkan Al-Qur’an, yaitu kebebasan yang terkendali dengan adanya kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga.

Kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan bukan sebagai bentuk diksriminasi terhadap perempuan, melainkan sebaliknya sebagai bentuk penghormatan Islam terhadap status perempuan sebagai istri yang harus dilindungi.

Sehingga, perempuan dalam Islam tidak hanya sebagai istri yang taat kepada suami dan Ibu sebagai madrasah bagi anak-anaknya, akan tetapi Islam juga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya sepanjang tidak meninggalkan kewajibannya sebagai Ibu Rumah Tangga.

Jadi, apakah Islam butuh Feminisme? Jawabannya tidak perlu! Pemahaman ‘kebebasan’ tidak hanya dimiliki oleh kaum feminis, islam pun punya istilah kebebasannya sendiri.

Lalu apakah Indonesia butuh Gerakan Feminisme atau Anti Feminisme? Ya, tergantung. Kebebasan perempuan itu ada banyak, bukan hanya berkutat pada satu gerakan Feminisme. Gerakan Anti Feminis juga merupakan sebuah kebebasan. Tinggal bagaimana memilih kebebasan seperti apa yang kita percayai.

Jadi menurut saya, sebaiknya gerakan yang mesti digembar-gemborkan bukanlah gerakan feminisme ataupun anti feminisme, melainkan gerakan yang menghargai serta menghormati pendapat dan pandangan orang lain. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *