Wujudkan Generasi Indonesia Berbudaya Melalui Film Berkarakter

hqdefault“Kopi Sumatera di Amerika” sebuah buku karya Yusran Darmawan, seorang Kompasianer yang berhasil kuliah di luar negeri karena karya-karyanya yang dimuat di media massa. Di dalam bukunya, Yusran –yang pernah dinobatkan sebagai Kompasianer of the Year ini–menuturkan pengalamannya selama berada di negeri Paman Sam itu. Salah satunya tentang ikon-ikon kebudayaan Indonesia yang begitu terkenal dan dibanggakan oleh orang-orang di Amerika.

Di Amerika, ia patut berbangga karena produk asli dari Indonesia digunakan dan beredar di pasaran internasional. Tapi disisi lain, sebuah keprihatinan muncul dari hasil kontemplasi Yusran melihat betapa orang-orang Indonesia merasa tidak percaya diri apabila masih mengenakan pakaian-pakaian yang bukan merek luar negeri. Ia menyebutnya sebagai bangsa yang mengalami kekerdilan kebudayaan.

Pada tahun 2015, Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan  Kemendikbud kembali mencatat kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang meliputi: cagar budaya, museum, warisan budaya tak benda, jumlah kesenian daerah, kepercayaan dan tradisi hingga bahasa daerah. Sebanyak 979 cagar budaya, 434 museum,  6.238 warisan budaya tak benda, 5.754 jumlah kesenian daerah, 7.894 kepercayaan dan tradisi serta 617 bahasa daerah tiap provinsi.

Melihat fakta tersebut di atas dapat membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya. Namun, tidak dapat dipungkiri kebudayaan asli Indonesia mendapat serangan yang gencar dari budaya asing. Mulai dari perubahan cara berkomunikasi, cara berpakaian, gaya hidup, hilangnya permainan tradisional dan alat-alat musik tradisional merupakan beberapa hal yang berpengaruh akibat serangan budaya luar tersebut. Begitu cepatnya budaya asing masuk ke tanah air menyebabkan terjadinya culture shock, sehingga menimbulkan pergeseran nilai-nilai kebudayaan.

Hal ini tentu saja tidak lepas dari derasnya pengaruh globalisasi, terutama arus informasi dan teknologi. Apalagi ditandai dengan masuknya informasi internasional dari negara-negara maju ke negara berkembang secara satu arah. Misalnya saja, kita bisa menonton film di televisi dari negara-negara maju dengan menggunakan layanan televisi satelit tanpa adanya timbal balik.

Kelompok masyarakat yang paling mudah mendapat pengaruh adalah golongan remaja dan anak-anak. Mereka lebih senang mengadopsi gaya hidup yang cenderung kebarat-baratan yang diperolehnya melalui televisi.

Menurut survei Nielsen Consumer dan Media View (CMV) 2016 yang dilakukan di 11 kota besar di Indonesia, hanya 4% anak yang masih membaca koran, majalah atau tabloid dalam bentuk cetak, 98% memilih menghabiskan waktu menonton televisi, 13% bermain internet, 10% memakai televisi berbayar dan 7% mendengarkan radio.

Fakta tersebut membuktikan bahwa sebagian besar anak-anak di Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu menonton televisi. Oleh karena itu, melalui media massa para generasi muda harus mampu memahami kebudayaan mereka sendiri untuk meningkatkan citra dan apresiasi budaya bangsa dalam proses pencarian jati diri. Mereka tidak boleh memiliki jati diri yang bukan tumbuh dari budayanya sendiri.

Dalam pembentukan jati diri bangsa, kebudayaan Indonesia harus lebih banyak memainkan perannya. Kembali lagi bahwa kita harus segera keluar dari keterpukauan pada budaya-budaya asing dan mesti peduli pada budaya sendiri. Meski begitu, bukan berarti mengabaikan keberadaan budaya asing. Budaya-budaya barat yang masuk ke Indonesia tetap menjadi perhatian kita untuk memperkaya budaya, bukan malah menimbulkan pergeseran nilai budaya itu sendiri.

Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara lain juga tentu mengalami pengaruh budaya asing. Tetapi negara tersebut berhasil mengadopsi nilai-nilai positif dari budaya-budaya luar, seperti di negara Jepang yang mencontoh budaya etos kerja yang tinggi sehingga dapat kita lihat Jepang tumbuh menjadi negara maju.

Maka dari itu, esai ini bertujuan untuk membangun inovasi-inovasi baru serta pola pikir generasi muda dalam memajukan dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan dengan menggunakan teknologi modern.

Strategi Budaya Melalui Media Massa

Oleh karena ancaman globalisasi yang paling mendasar adalah globalisasi budaya, maka strategi yang harus diutamakan adalah strategi budaya melalui media massa. Sejak dini, anak-anak harus dituntun secara cerdas dalam memperoleh informasi. Televisi merupakan media massa yang bersifat audio visual yang memudahkan khalayak menerima informasi secara jelas. Dengan seringnya anak-anak menonton tayangan-tayangan televisi yang cenderung menampilkan gaya dominan budaya asing, maka secara tidak langsung akan mengubah pola pikir dan tingkah laku mereka.

Berbicara tentang film, menurut Undang-Undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, yang dimaksud film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

Film merupakan karya seni yang dapat menampilkan nilai-nilai kebudayaan. Dibandingkan dengan negara-negara maju, film Indonesia sangat jauh apabila dilihat dari segi kualitasnya. Saat ini masyarakat sedang digandrungi oleh film-film luar negeri. Contohnya drama korea atau serial Bollywood yang seringkali ditampilkan di layar televisi Indonesia. Bahkan stasiun televisi mendatangkan aktor-aktor dalam film tersebut untuk mengejar rating tertinggi.

Kegandrungan akan film-film luar negeri membuat bioskop-bioskop yang menayangkan film Indonesia menjadi sepi penonton. Mereka lebih memilih menunggu film tersebut keluar di internet daripada harus membayar mahal tiket bioskop yang kualitas filmnya masih diragukan.

Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan survei yang dirilis Jajak Pendapat App (JAKPAT) yang menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia jarang menonton di bioskop. Sebanyak 29,38% responden yang sering ke bioskop dan 70,62% responden jarang ke bioskop. Sementara 55% responden terlebih dahulu mencari informasi mengenai film yang sedang ditayangkan di bioskop dan 42,53 % responden yang tidak mencari informasi.

Keberadaan film-film luar negeri seperti Hollywood Blockbuster, Bollywood atau drama asia ke layar lebar Indonesia meraup keuntungan sangat besar untuk industri perfilman di Indonesia. Ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap film luar negeri disebabkan budaya Indonesia yang cukup kontras dengan budaya luar. Film-film luar negeri menampilkan karakter khas bangsa mereka sendiri. Hollywood mengemas filmnya dengan ciri yang kebarat-baratan, cenderung liberal dan penuh efek teknologi. Film Bollywood pun tidak pernah lupa menyisipkan nilai-nilai kebudayaan melalui tarian dan musik khas mereka. Bahkan film-film barat yang masuk ke negara India harus di dubbing dalam bahasa mereka terlebih dahulu  jika masuk ke sana.

Lantas apa yang menjadi ciri khas film Indonesia? Film-film Indonesia yang diputar di bioskop-bioskop di hampir seluruh wilayah Indonesia seringkali tidak membahas secara mendalam lokalitas budaya di dalamnya. Film-film yang diangkat pun lebih mementingkan selera penonton dengan memasukkan unsur-unsur seks atau komedi yang tidak mendidik dan jelas bertolak belakang dengan realitas masyakarat Indonesia itu sendiri. Belum lagi logika cerita yang tidak masuk akal dan membuat penonton bertanya-tanya maksud film tersebut.

Rendahnya Minat Terhadap Film Bertema Kultural

Film bergenre sejarah dan kebudayaan adalah warisan. Film menggambarkan potret sejarah menurut zamannya. Budaya tradisional berbeda dengan budaya pop yang serba ‘bebas’. Jika ingin melestarikan kebudayaan yang ada di zaman dahulu, maka merepresentasikan dalam bentuk film merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan. Namun, ketertarikan masyarakat terhadap film bertema kultural sangat rendah. Masyarakat lebih senang dengan beredarnya film-film bergenre horor dan komedi dibandingkan film yang mengangkat tema-tema kultur.

Saatnya Para Sineas Berbenah

Para sineas Indonesia alangkah baiknya bercermin dari para kreator film luar negeri dan mempelajari teknis pembuatan filmnya, bukan pada budayanya. Sineas juga harus bisa mandiri dan tidak bergantung kepada pemerintah dengan meminta agar pajak produksi film diringankan. Apalagi membatasi film luar negeri masuk ke Indonesia. Dampak baiknya, semakin tinggi pajak film, maka para seniman film terdorong untuk membuat film yang bermutu dan berkualitas.

Meski begitu, untuk memperoleh film yang berkualitas tentu perhatian pemerintah menjadi salah satu faktor pendukung. Pemerintah kurang memperhatikan kondisi dunia perfilman Indonesia. Dapat dicontoh bagaimana kesuksesan negara Korea dalam melakukan ekspansi seni dan budaya ke seluruh asia bahkan dunia. Hal tersebut tentu dilatarbelakangi oleh talenta dan kreativitas yang dimiliki para seniman korea. Pemerintah Korea memberikan beasiswa pendidikan dan memberangkatkan seniman-senimannya untuk belajar langsung di Amerika.

Untuk itu diperlukan adanya inovasi dan gagasan dalam menciptakan sebuah film yang bermutu dan berkarkater di masyarakat, yakni menyuguhkan film sejarah dan kebudayaan dengan menarik benang merah ke dalam kondisi masyarakat modern. Di sini, penulis menawarkan sebuah gagasan agar film bertema kultural mampu menarik penonton khususnya generasi muda Indonesia.

  1. Memodernkan Film Kebudayaan

Agar laku di pasaran, sebuah film harus memperhatikan kualitasnya baik dari segi audiovisual, aktor atau pemain, alur cerita dan bahasa. Hal ini tentu dipahami oleh para produksi film. Di Indonesia, para sineas dengan mengangkat tema-tema kultural dalam filmnya berusaha menampilkan film yang hampir sama dengan kondisi zaman dahulu dan hasilnya jauh dari yang diharapkan. Para kritikus film berlomba-lomba menyampaikan kritik pedas terhadap film yang menurutnya kurang menarik, bahkan sehari setelah film tersebut dirilis. Contohnya kritik pada film Soe Hok Gie (2005) yang disutradarai oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. Meski berhasil menghidupkan suasana Jakarta tahun 1960-an, namun dalam segi audiovisualnya kurang menarik. Sebagian masyarakat menilai dari segi pencahayaan, suara dan musik yang tidak seimbang sehingga terlihat membosankan.

Film biopik “Nyai Ahmad Dahlan” yang baru-baru ini tayang di layar lebar mengundang kritik dari para kritikus film. Dikatakan bahwa penampilan dari segi teknik dan audiovisual film ini tidak kelihatan megah. Film ini bahkan tidak banyak menawarkan hal-hal menarik selain pelajaran sejarah yang penuh dengan ceramah.

Untuk itulah kualitas film dari segi audio dan visual tidak boleh dianggap remeh. Saat ini anak-anak dan remaja membutuhkan konsep baru dalam film yang bertema kultural agar menarik untuk ditonton. Misalnya menggunakan konsep 3D yang tidak membosankan dalam cerita rakyat yang difilmkan. Banyak anak-anak yang suka menonton serial Upin dan Ipin karena selain memiliki pesan moral yang cukup berkesan, juga memiliki daya tarik pada efek visualnya dengan fitur animasi 3D. Serial Upin dan Ipin meskipun ditayangkan di televisi Indonesia, bahasa yang digunakan tetap menggunakan bahasa  asli melayu dan sarat akan nilai-nilai kebudayaan melayu.

Siapa yang tidak mengenal film animasi klasik pertama yang diproduksi Walt Disney Pictures yaitu Snow White and the Seven Dwarfs (1937). Kisahnya sudah sangat familiar dikalangan anak-anak maupun orang dewasa. Film yang diangkat dari dongeng Jerman ini membawa perubahan dalam budaya di Amerika, seperti kebaradaan wahana di theme park, video game dan pentas musical Broadway. Bahkan film ini diperankan oleh aktor Hollywood terkenal tanpa menghilangkan corak budaya eropa yang kental.

Jerry Roberts, seorang ktitikus film asal Amerika mengakui kegigihan Disney dalam menggarap film animasi itu. Selain lompatan teknologi yang dibuat animator, kegemaran anak-anak dalam menonton film ini karena Putri Salju yang digambarkan sebagai sosok yang begitu sempurna, menampilkan tarian indah dengan diiringi musik yang hidup serta citra yang penuh warna. Alur cerita terbentang dengan baik karena selain menyeimbangkan adegan dengan lagu dan komedi, film ini tentu menggambarkan kesedihan snow white saat dibuang ke hutan serta kisah cinta yang menyentuh.

Kegigihan animator Disney patut diapresiasi. Berbagai macam cibiran akan kegagalan film animasi ini membuatnya tidak patah arang, bahkan keluarga Walt memintanya untuk tidak melanjutkan proyek ini terutama setelah dia membiayai film ini dengan menggadaikan rumahnya. Dalam membuat film ini tentu membutuhkan waktu yang lama, tenaga ekstra dan budget yang besar, tapi hasilnya dapat terbayarkan karena film ini merupakan film terlaris tahun 1937. Para animator film ini memulainya dari awal, yang dibutuhkan hanyalah kreativitas dan kesungguhan para pembuatnya.

Selain dari segi audiovisualnya, kualitas pemain dalam membuat film wajib menjadi pertimbangan penting. Karena image pemain film akan mempengaruhi penontonnya. Mereka akan tertarik menonton apabila tokoh utamanya dimainkan oleh aktor populer, memiliki talenta yang mumpuni dan citra baik di mata masyarakat. Seperti pada film Habibie dan Ainun yang sukses di pasaran salah satunya karena aktor Reza Rahardian memikat hati penonton.

Dalam membuat film yang bertema kultural, unsur bahasa tidak luput dari perhatian. Pola komunikasi antara orang dahulu dengan orang sekarang tentu berbeda. Pola pendidikan yang berbeda, cara pandang berbeda, penjelasan berbeda sehingga penangkapan maksud tidak akan sampai. Film kultural yang memakai bahasa filsafat, puitis atau istilah-istilah yang sulit dipahami tidak bisa ditangkap oleh anak-anak. Oleh karena itu, memodernkan pola bahasa dalam film adalah cara yang baik untuk dilakukan.

Tentunya dalam membuat film dengan kualitas yang tinggi membutuhkan pengorbanan biaya pembuatan yang tidak sedikit dan perlunya orang yang tepat menangani. Di sinilah para sineas memainkan perannya.

  1. Membuat Komunitas Film Budaya untuk Anak Bangsa

Ada berapa komunitas film yang khusus membahas tentang kebudayaan Indonesia di tanah air? Jika tidak mampu membuat film bergengsi dan berkualitas seperti di atas, maka ada cara lain untuk menarik anak-anak bangsa mengenal kebudayaan mereka sendiri. Salah satunya adalah membuat komunitas film budaya yang sasarannya adalah anak-anak dan remaja. Dengan mengajak anak bangsa untuk nonton bersama, melestarikan permainan dan musik tradisional serta bercerita tentang kebudayaan menjadi hal yang menarik dilakukan. Komunitas ini juga dapat masuk ke sekolah-sekolah sebagai ganti mata pelajaran Seni Budaya. Memutar film di sekolah adalah sesuatu yang sangat jarang dilakukan apalagi jika film tersebut dapat menghibur. Selain membahas tentang kebudayaan, dapat pula disisipkan berbagai ilmu tentang dunia perfilman yang boleh jadi diminati oleh kaum generasi muda. Dengan begitu, minat dan bakat dapat terbangun sejak dini hingga mereka bisa turut berkontribusi dalam proses produksi film yang bermutu dan berkarakter untuk Indonesia beberapa tahun ke depan.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa melestarikan kebudayaan Indonesia harus dimulai sejak dini. Perkembangan teknologi saat ini dapat digunakan sebagai alat untuk memajukan kebudayaan bukan malah melunturkan kebudayaan. Media massa dapat dimanfaatkan sebagai corong bagi anak bangsa untuk mempelajari budaya-budaya Indonesia. Salah satunya melalui film yang memiliki ciri khas kebudayaan Indonesia dengan kualitas yang tinggi sehingga menarik minat penonton khususnya anak-anak dan remaja. Selain itu, membuat komunitas juga penting agar generasi muda mampu menuangkan kreativitas di dunia perfilman nasional yang berisi nilai-nilai kebudayaan.

Untuk itu, penulis menyarankan agar para sineas memberi perhatian penuh terhadap film-film yang bertema kultural. Sutradara, Produser, Penulis Skenario merupakan tonggak utama untuk memajukan industri film Indonesia tanpa menghilangkan unsur seni dan kebudayaan yang menjadi ciri khas bangsa.

Mengapa tidak mungkin apabila Indonesia membuat film yang menampilkan khas kebudayaan sendiri dengan mengangkat cerita-cerita rakyat Indonesia kemudian terkenal di Amerika. Dengan begitu, masihkah kita malu mengenakan produk-produk budaya dalam negeri?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *