Sadar atau tidak, buku, kopi dan musik indie menjadi kesukaan saya selama enam bulan terakhir ini. Tiga hal ini selalu menjadi teman saat melakukan aktivitas saya sehari-hari. Jika tidak dengan buku, ada kopi. Jika tidak dengan kopi, selalu ada musik indie yang kunikmati.
Saya menuliskan tentang ini, karena saya yakin, tidak semua orang punya kesukaan yang sama. Dan sebagian orang senang menyampaikan apa yang mereka sukai, entah itu dalam bentuk cerita bersama teman, sahabat atau kekasih. Ataupun dalam bentuk tulisan seperti yang saya lakukan saat ini. Siapa tahu kita bisa bertukar cerita di sini lantas mengetahui rahasia dibalik kesukaan kita terhadap hal itu.
Lalu, kenapa buku? Sampai saat ini saya masih memikirkan beberapa alasan mengapa saya menyukai buku. Kata orang, mencintai itu tidak butuh alasan. Tapi saya tidak pernah percaya. Sesuatu yang hendak kita lakukan, selalu butuh alasan. Termasuk alasan saya pernah mencintainya.
Jadi begini, terkadang, proses mencintai itu diawali dengan cara dipaksakan. Sesuatu yang seringkali dipaksakan, lama kelamaan menjadi kebiasaan. Dan pada akhirnya kita bisa mencintai hal-hal yang sering kita lakukan. Sebuah proses yang sungguh melelahkan bukan? Tapi akan menyenangkan jika sudah terbiasa. Itu yang pertama.
Yang kedua, buku bisa menambah wawasan. Pernyataan ini memang sulit dibantah. Sejujurnya, saya meyakini bahwa orang-orang yang malas membaca, maka ingatan, pengetahuan, dan wawasannya akan jauh tenggelam di dasar laut. Membaca buku mengantarkan kita untuk melihat dunia yang lebih luas. Jika kau tidak cukup uang untuk berkeliling dunia, maka bukulah yang akan membawamu.
Ketiga, jika saya tidak membaca buku, bagaimana saya bisa menulis? Apa yang bisa saya tulis? Segala kosa kata ada di dalam buku. Semakin banyak yang kita makan, semakin banyak yang kita buang. Semakin banyak yang kita baca, semakin banyak pula yang kita tuang. Itulah prinsip yang saya pegang sampai hari ini. Jadi, kalau mau bisa menulis, ya harus banyak membaca buku. Malas? Saya pikir, ini menjadi tantangan terberat yang tidak ada obat penawarnya, kecuali melawan rasa malas itu.
Sekilas tentang buku, kita beralih ke kopi. Saya mengagumi kopi. Tapi Ayah saya seringkali memperingatkan agar selalu menjaga kesehatan. Perempuan tidak boleh terlalu banyak minum kopi, katanya. Sewaktu kecil, tiap kali Ayah dibuatkan kopi oleh Ibu, diam-diam saya mencicipinya. Enak, karena Ayah menyukai kopi dicampur dengan susu kental yang manis. Ketika didapati Ayah bahwa saya meminum kopinya diam-diam, ia memarahi saya. Sejak saat itu saya tak berani meminum kopi apalagi kopi yang sedang Ayah saya minum.
Setiap ke warung kopi, saya memperhatikan orang-orang meminum kopi. Teman kerja yang sering ke warung kopi bersama saya, tak pernah absen meminum kopi. Kopi classic, espresso, kopi vietnam, cappucino, dan banyak lagi macamnya. Namanya juga warung kopi. Sesekali, saya juga ikut memesan kopi. Ingat ya, cuma sesekali. Jangan beritahu Ayah saya soal ini.
Bagi saya, kopi adalah minuman yang ajaib. Kopi mampu menyihir setiap orang untuk terus menikmatinya. Ada rasa nyaman dan ada sesuatu yang ingin sekali dikatakan lewat secangkir kopi yang ada di atas meja. Kopi membutuhkan teman bicara, yang tak pernah habis membahas topik masa lalu atau yang sedang hangat. Perempuan suka meminum kopi sambil bercerita tentang kekasihnya, atau pria yang diidamkannya. Jika tak ada teman, kopi menjelma sebagai lawan bicara. Tak perlu banyak bicara, kopi tahu apa yang kita rasakan. Itu bagian ajaibnya.
Saya merasa ingin sekali berterima kasih pada petani kopi di sebuah desa di ujung sana. Ia menggiling biji-biji kopi lantas membuatnya menjadi butiran halus yang menghangatkan. Kemudian para barista membuatnya dengan hati-hati dan penuh cinta, ia menyeduhnya ke dalam gelas menjadi secangkir kopi yang utuh tanpa luka. Barista mengantarkan ke meja lalu menyapa para pelanggan dengan hangat pula. Itu salah satu bagian menyenangkannya.
Ada pahit, ada manisnya. Persis seperti kehidupan yang kita jalani, bukan? Begitulah kopi. Punya banyak hal yang tidak bisa ditelisik hanya dengan melihatnya. Tapi juga perlu menikmatinya. Tak lebih seperti menyelami karakteristik perempuan yang diam-diam kau cintai, bedanya, kopi tak akan pernah menitipkan luka.
Saya pengagum kopi meski tak semua jenis kopi pernah kucoba. Kau tahu, saya adalah penggemar rahasia kopi. Jangan beritahu siapa-siapa.
Terakhir, musik indie. Menulis ini, perlu kau ketahui, saya sedang mendengarkan lagu Fourtwnty dari aplikasi musik di android. Entah kenapa, setiap kali mendengar lagu-lagu indie, membuat pikiran saya menjadi tenang dan jernih, sehingga saya bisa menuliskan apa saja tanpa banyak berpikir. Mengalir begitu saja seperti air.
Saya mulai mengenal lagu indie saat pertama kali mendengar Payung Teduh melantunkan lagunya yang berjudul “Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan”. Kenangan masa lalu tiba-tiba berkelebat dalam kepalaku. Saya menikmati rindu yang datang menyerang. Memang, lagu selalu punya cara sendiri untuk mengenang masa lalu. Apalagi dengan lirik demi lirik yang menggambarkan suasana hati saat itu.
Menikmati musik indie seperti mendengar musik dan puisi secara bersamaan. Lirik-lirik yang menyentuh yang bercerita tentang banyak hal. Bercerita tentang hujan, senja, dan tentu saja cinta. Pas untuk orang-orang yang melankolis dan sering patah hati. Jika kau termasuk, mari menikmati bersama.