Baru-baru ini saya selesai membaca sebuah artikel tentang mengapa sih kita itu harus dituntut untuk bekerja keras di bawah tekanan, padahal kita sebenarnya bisa menikmati sejenak waktu yang kita punya setiap harinya.
Mengutip ulasan tirto.id, Forbes mencatat, hasil survei Harvard Business School, sekitar 94% profesional bekerja lebih dari 50 jam per minggu. WHO menyatakan, 1 dari 7 orang mengalami gangguan kesehatan jiwa di kantor. Sementara studi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2016 memperlihatkan sepertiga pekerja di industri kreatif mengalami overwork dengan jam kerja lebih dari 48 jam tiap minggu.
Fakta ini, membuat saya lantas berpikir, wah ternyata orang yang mengalami overwork semacam ini tidak sedikit, barangkali saya juga masuk di dalamnya. Bahkan, saya bekerja lebih dari 50 jam tiap minggu. Tapi benarkah kesibukan dan pekerjaan yang memakan banyak waktu itu telah merebut kebahagiaan seseorang? Apakah pekerjaan kita tidak semenyenangkan itu sehingga membuat kepala kita mengeluarkan ‘asap’ saking pusingnya dengan rutinitas yang tidak ada habisnya?
Barangkali, kita harus belajar bagaimana menikmati pekerjaan yang kita geluti. Bagi saya, bekerja itu bukan hal yang harus dikerjakan karena tuntutan, melainkan karena pekerjaan itu adalah sesuatu yang disenangi. Jika pada awalnya kita terpaksa memasuki dunia kerja yang tidak kita sukai, maka carilah hal-hal yang membuat kita betah di tempat itu. Bukan malah mengeluh dan pada akhirnya melarikan diri mencari tempat yang baru.
Misalnya, saya sebenarnya bukan tipe orang yang humble, menyenangkan, pandai bergaul, dan saya cenderung pendiam. Namun, saya memasuki dunia yang dituntut untuk bersikap demikian. Hal inilah yang menjadi tantangan buat saya untuk bisa melakukan sikap yang bukan bagian dari diri saya. Meski di sisi lain saya juga suka menulis. Itulah mengapa saya betah menjadi jurnalis.
Jadi, menurut hemat saya, pekerjaan yang sulit itu tidak lantas dijadikan sebagai hal yang dapat merugikan diri sendiri, tetapi dijadikan sebagai pembelajaran dan kekuatan agar bisa memperoleh status yang lebih tinggi. Kalau nggak suka atau sudah mulai bosan dengan pekerjaan kita yang sekarang, ya kualitas pekerjaan kita harus ditingkatkan lagi supaya mendapat jabatan yang lebih tinggi.
Kembali lagi, artikel tersebut menyebutkan bahwa bagi pekerja yang kurang menikmati pekerjaannya, ada baiknya mengikuti gaya hidup yang slow life. Arti dari slow life di sini bukan berarti melakukan aktivitas dengan lambat, melainkan menjalani sesuatu dengan perhitungan.
Artinya, slow life itu bagaimana kita mampu mengatur ritme hidup kita secara bebas, tanpa tunduk pada pola serba cepat, guna mencapai tujuan yang ingin dicapai. Jika waktunya melambat tiba, maka melambatlah. Tapi, jika saatnya untuk bergerak cepat, maka tanggapilah dengan cepat pula.
Saya mengartikan gerakan slow life ini, seperti di mana saya menikmati waktu yang ada dan tidak melakukan apa-apa di jam-jam longgar (berdasarkan perhitungan kita sendiri). Misalnya, jam 1 siang sampai 3 sore, saya tidak melakukan apa-apa, padahal waktu itu adalah jam sibuk jurnalis melakukan peliputan di lapangan dan deadline berita yang harus dikirim pukul 5 sore. Pertimbangan saya, karena sudah melakukan separuh pekerjaan saya di awal, seperti telah melakukan wawancara, maka saya bakal bisa menyelesaikan pekerjaan di detik-detik terakhir deadline.
Nah, dua jam sebelum deadline adalah waktu saya untuk bergerak cepat. Mengolah hasil wawancara tadi pagi dan mengirimnya ke redaktur. Artinya, kita bisa memprediksi kapan rentang waktu untuk bersantai dan kapan rentang waktu untuk menyelesaikan pekerjaan. Jika kita tidak bisa mengaturnya, maka bersiaplah akan dilindas oleh waktu itu sendiri.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah hari libur itu adalah waktu untuk menghilangkan kepenatan setelah hampir sepekan bekerja? Bisa ya, bisa juga tidak. Setiap orang punya caranya sendiri untuk mengisi waktu luang. Saya selalu mengisi waktu luang dengan melakukan pekerjaan yang tidak bisa kulakukan di hari-hari kerja. Misalnya, menulis, belajar toefl, membaca buku. Tapi ada pula yang menghabiskan waktu di Mall, bioskop, memasak, tidur, nongkrong, atau hal-hal lain yang menjadi kesukaannya. Jadi anggap saja di hari libur itu saya melakukan aktivitas seperti biasanya. Apakah saya tidak menikmati hari libur? Siapa bilang. Malah, setiap hari saya menikmatinya.
Intinya, bagi saya pekerjaan itu tidak akan menimbulkan rasa penat apabila diselingi oleh aktivitas yang kita senangi setiap harinya. Apalagi, pekerjaan yang menjadi tuntutan itu sudah merupakan kesenangan kita. Jadi, rasa senangnya bisa double, benar nggak? (*)