Cita-cita anak Sekolah Dasar hanya bukan sekadar ucapan, tetapi mimpi yang harus diwujudkan.
Pertemuan pertamaku dengan adik-adik kelas empat B di SD Negeri IV Sungguminasa sungguh berkesan. Anak murid tidak terlalu banyak tingkah dan mudah di atur, tak seperti bayanganku sebelumnya. Di saban sabtu pagi, kami—yang disebut oleh mereka sebagai kakak-kakak Sobat Lemina—akan memberi warna baru dalam aktivitas belajar mereka di sekolah.
Aku bersama empat relawan lain, yaitu Kak Wina, Kak Ita, Kak Nurul dan Kak Ipeh mencoba menarik anak-anak dalam suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan. Satu dua ice breaking berhasil dimainkan oleh Kak Ita. Anak-anak menikmati permainan dengan senda gurau dan tawa.
Dalam pertemuan pertama ini, kami memang hanya ingin berkenalan sembari melihat bagaimana situasi dan kondisi anak-anak yang menjadi partner belajar selama beberapa pekan ke depan. Setelah para relawan memperkenalkan dirinya, maka giliran para siswa satu per satu naik ke depan. Mereka menyebutkan nama, hobi, dan cita-cita. Mengenai hobi dan cita-cita, kau tahu sendiri jawaban apa yang sering dilontarkan sepantaran anak SD, kebanyakan mereka memilih menyebut dokter, polisi, atau tentara. Sebuah cita-cita luar biasa yang diidamkan para orang tua.
Bagaimana tidak, profesi dokter dan polisi ini sudah jelas menjanjikan. Setiap orang tua pasti bangga bila salah satu anaknya menjadi dokter atau polisi. Selain karena dokter yang menyembuhkan orang sakit dan polisi yang memberantas kejahatan adalah tugas yang mulia, menyandang gelar ini juga terlihat keren dan tentu punya banyak uang.
Bayangkan saja ketika kau berjalan di lorong-lorong rumah sakit di antara banyaknya pasien yang sedang menunggu diobati, lalu seorang kawan lama melihatmu memakai seragam dokter dan stetoskop yang menggantung dileher. “Hei, kamu sudah menjadi dokter sekarang.” Kamu menjadi tersipu malu dan merasa bangga dengan diri sendiri. Atau kau sedang berjaga di pos polisi memakai seragam lalu berfoto dan mengunggahnya di instagram biar banyak orang yang melihat dan berkomentar, “Wah, polisi andalan gue nih!”
Merasa bangga dan percaya diri dengan profesi yang dimiliki adalah hal yang wajar. Yang tidak wajar itu, ketika kita mulai bermimpi lalu ada yang menertawakan dan pada akhirnya mimpi itu harus musnah bersama tawa mereka.
Sejak kecil kita diajari untuk belajar memiliki cita-cita, baik oleh orang tua maupun guru. Setiap anak berhak memilih cita-cita mereka sendiri. Entah itu menjadi guru, dokter, polisi, pilot, PNS atau ingin menjadi kaya raya pun tidak masalah.
Saat ini saya kembali teringat dengan cita-cita yang sempat kulontarkan. Saya pernah bilang ingin menjadi dokter, sebab semua teman sebayaku di sekolah pun mengatakan demikian. Ayah dan Ibuku hanya mengangguk dan mengaminkan. Lalu sekarang, saya akhirnya menjadi seseorang dengan pekerjaan yang kusukai. Jika mungkin saya tetap memilih jurusan kedokteran, maka hidupku akan terasa membosankan dan hanya berkutat pada buku-buku tentang tubuh-tubuh manusia atau membedah tikus dan katak (hewan yang paling tidak kusukai). Itulah mengapa Tuhan memilihkan jalan saya sendiri sesuai dengan kemampuan yang kumiliki bukan kemampuan yang dimiliki orang lain.
Sebuah cita-cita yang ditanamkan sejak dini, lantas cita-cita itu kemudian berubah sesuai dengan pertumbuhan pola pikir setiap orang. Cita-cita kemudian berubah berdasarkan pelajaran dan pengalaman hidup setiap orang. Lalu, apa yang dicita-citakan sejak kecil hanyalah kenangan masa lalu yang hilang bagai asap ditiup angin.
Orang yang bercita-cita adalah orang yang jelas memiliki tujuan masa depan. Bayangkan jika kita tidak punya tujuan, lalu untuk apa kita belajar? Bukankah ingin menjadi pintar dan berilmu juga adalah cita-cita. Orang yang ingin pintar dan berilmu tapi malas belajar seringkali disebabkan kurangnya motivasi atau dukungan dari orang terdekat, khususnya orang tua. Maka, cita-cita penting untuk ditanamkan, apapun itu. Meski suatu saat akan berubah, tapi setidaknya kita menetapkan suatu titik yang menjadi fokus di mana tempat yang akan kita tuju.
Ibaratnya, kita sedang melakukan perjalanan jauh dan tujuan kita adalah mendapatkan harta kekayaan, misalnya. Lalu, kita membuat rencana-rencana dan membentangkan peta perjalanan menuju lokasi yang akan dituju. Di tengah perjalanan akan ada banyak rintangan dan hambatan yang menghalangi tujuan dan niat kita. Sehingga hanya memunculkan dua pilihan antara tetap melanjutkan perjalanan atau pulang dan mencari tujuan lain. Dan pada akhirnya, pilihan kita sendirilah yang akan menentukan di tempat mana kapal kita akan menurunkan sauh.
Sejatinya, semua yang kita lakukan untuk meraih tujuan itu tidaklah sia-sia. Setiap peristiwa atau kejadian yang kita alami dalam proses pencarian jati diri akan berubah menjadi sebuah makna dan pelajaran hidup. Sehingga siapapun yang merasa kalah, sebenarnya dia tidak kalah sepenuhnya malah akan menambah amunisi baru dalam dirinya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti sebelumnya.
Yang ingin kukatakan adalah ketika kita menanyakan perihal cita-cita ke anak sekolah dasar, itu artinya kita menanamkan sebuah mimpi dan motivasi untuk mereka agar belajar lebih giat. Biarkan mereka membuat rencana-rencana dan membentangkan peta perjalanan sendiri untuk meraih tujuan hidup mereka masing-masing. Suatu hari, ketika pilihan itu datang, mereka sendiri yang akan memutuskan berdasarkan pengalaman dan pelajaran yang pernah di dapatkan.
Oleh karena itu, jangan pernah meremehkan cita-cita anak sekolah dasar. Suatu hari, kau akan terkejut ketika melihat bahwa Si Cuncung yang dulu ingusan dan tak pernah bersepatu ke sekolah itu, kini pemilik toko sepatu terbesar di seluruh negeri dan punya sepuluh pesawat jet pribadi.
Gowa|27/09/2017|14:29 WITA