“Saya membaca sebuah kajian yang mengukur efisiensi dari daya penggerak aneka spesies yang ada di planet ini. Burung kondor menggunakan paling sedikit energi untuk bergerak per kilometernya. Manusia hadir dengan pergerakan yang sedikit mengesankan karena hanya masuk urutan ketiga dalam daftar spesies efisien. Itu tampaknya tidak terlalu bagus hingga datang ilmuwan Amerika yang mempunyai pandangan untuk menguji efisiensi daya penggerak manusia dalam sebuah sepeda. Seorang manusia dalam sebuah sepeda yang dapat menyingkirkan efisiensi burung kondor. Itulah arti komputer bagiku, komputer adalah alat luar biasa yang pernah ada. Ini sejajar dengan sebuah sepeda dalam pikiran kita.”
Kutipan di atas adalah ungkapan Steve Jobs dalam wawancaranya untuk film dokumenter Memory dan Imaginasi, 1990. Mesin bukanlah musuh bagi pesepeda. Hanya saja, alat transportasi yang bermesin dapat merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Steve Jobs merenungkan untuk mendapatkan kecepatan yang lebih baik dari berlari, maka dibuatlah sepeda. Selain mengukur efisiensi daya penggerak manusia seperti ungkapan Steve Jobs di atas, bersepeda juga sangat penting bagi kesehatan.
Tak jarang kita melihat slogan-slogan di jalanan tentang pentingnya menjaga lingkungan. Misalnya slogan “Mari Ramah Lingkungan”, “Kurangi Polusi Udara”, “Go Green” dan lain-lain. Slogan-slogan yang tak lebih dari sekadar harapan. Hanya sebagai penghias jalan. Pajangan yang dibaca sekilas lalu tak diacuhkan.
Di dalam kampus, di mana slogan-slogan macam itu marak dikampanyekan oleh para mahasiswa pencinta alam, pun bernasib sama. Sangat sulit meyakinkan para mahasiswa bahwa bersepeda merupakan pilihan cerdas dalam berkendara.
Hampir tidak pernah saya melihat mahasiswa ke kampus menggunakan sepeda. Jangankan mahasiswa, dosen tak satu pun yang berani memakai sepeda. Padahal, alangkah lebih baik jika kebiasaan itu dimulai oleh pendidik untuk menjadi contoh bagi anak didiknya. Itu di kampus saya.
Di kampus lain, saya mendengar beberapa mahasiswa menjadikan bersepeda sebagai gaya hidup. Di mulai dari program yang dicanangkan oleh Universitas Sumatera Utara. Seorang mahasiswi bernama Azura Khairunnisah ternyata tertarik dengan program Bike to Campus Go Green Indonesia.
Zura, nama panggilannya, mulai bersepeda sejak ia masuk semester pertama di tahun 2015. Motivasi Zura cukup sederhana. Program Bike to Campus yang dicanangkan oleh kampusnya saat itu kurang mendapat perhatian di kalangan mahasiswa. “Karena itu, saya coba terapkan naik sepeda ke kampus dan ternyata sangat mengasyikkan.” Bagi Zura, sepeda bukanlah hal baru baginya. Ia sering melakukan perjalanan berkilo-kilo meter dengan menggunakan sepeda.
Lalu apa yang menyebabkan sebagian besar mahasiswa tidak menggunakan sepeda sebagai alat transportasi ke kampus? Salah satu kampus di Makassar, lebih dari 12 ribu mahasiswa memilih menggunakan motor daripada bersusah payah mengayuh sepeda apalagi berjalan kaki ke kampus.
Setiap pagi hingga petang, deru kendaraan yang berdesir-desir keluar masuk kampus membuat telinga saya berasa pekak. Jangankan indra pendengaran, indra penciuman justru muak dengan bau polusi udara yang menyeruak. Wajah para pengendara yang bermandikan matahari mulai berkerut. Akibat jalanan yang semakin padat. Menimbulkan macet. Belum lagi pada saat penerimaan mahasiswa baru atau wisuda sarjana, sangat sedikit celah bagi para pejalan kaki untuk lewat. Sebab pintu masuk dan keluar kampus dikuasai para pengendara motor dan mobil.
Keputusan untuk memakai kendaraan bermesin bagi para mahasiswa—termasuk saya—mungkin wajar saja, apalagi mereka yang tinggal jauh dari kampus. Salah satu alasan yang muncul ketika orang-orang lebih memilih memakai kendaraan bermesin daripada sepeda adalah karena timbulnya rasa gengsi.
Meski jarak antara kampus sangat dekat dari kostan atau rumah mereka tetap menggunakan motor. Stereotip orang terhadap kaum pesepeda dianggap rendah dan tidak berkelas. Orang-orang mengikuti tren dan gaya hidup modern agar dapat diterima di lingkungan atau kelompok untuk memperoleh pengakuan.
Abraham Moslow dalam teorinya tentang hirarki kebutuhan, menjadikan kebutuhan self-esteem atau menempatkan gengsi, status dan pencapaian sebagai kebutuhan utama. Secara umum, begitulah sifat mahasiswa saat ini.
“Bersepeda ke kampus tidak cocok dengan kondisi lingkungan kampus kita.” Salah seorang teman berkomentar ketika saya mengusulkan Bike to Campus sebagai isi rubrik Life Style. Waktu itu kami sedang melakukan rapat redaksi untuk tabloid yang akan terbit di bulan November.
Komentar tersebut didasari oleh kondisi lingkungan kampus yang kurang mendukung. Aspal jalan yang berlubang bak sumur kecil jika musim hujan datang. Serta sudut-sudut kampus penuh parkiran kendaraan yang berantakan. Hampir semua lahan kosong dihuni kendaraan bermotor. Beruntung, lapangan olahraga tidak dijadikan lahan parkir. Ditambah lagi dengan cuaca yang bikin kulit meradang karena panas.
Salah satu partner pendiri Dutch Cycling Embassy (organisasi dunia yang mengampanyekan sepeda ke seluruh dunia), dua kata kunci dalam pengembangan budaya bersepeda adalah kontinuitas dan integrasi. Kontinuitas dan integrasi ini bisa diwujudkan dengan mengatur tata kelola transpotasi kampus dan sekitarnya. Seperti mempertimbangkan rute khusus sepeda dan parkir sepeda yang memadai. Tentu hal ini dilakukan agar para pesepeda nyaman berkendara ke kampus.
Tujuan dari jalur khusus sepeda adalah memisahkan antara sepeda dengan pengguna kendaraan bermotor untuk mengurangi resiko kecelakaan. Untuk dibuat nyaman, selain dipisah dari jalur kendaraan bermesin, jalur sepeda haruslah hijau dengan tanaman rindang di tepinya. Sehingga mengurangi panas ketika siang hari.
Tak hanya mobil dan motor, tempat parkir sepeda yang memadai pun diperlukan. Yakni menyediakan rak sepeda—tempat berjeruji untuk memarkir sepeda—agar aman dan tidak mudah dicuri.
Kampus-kampus di Jawa seperti ITB, UGM dan UI telah lama mengkampanyekan budaya bersepeda ke kampus. Bahkan pihak rektorat mengeluarkan kebijakan tersebut dengan menyediakan sepeda dan membuat jalur khusus pengendara sepeda. Alasannya, tentu saja polusi udara yang tidak sehat bagi lingkungan. Bersepeda juga sangat baik untuk kesehatan. Kampanye sepeda di UGM dilaksanakan tiap tahun. Mahasiswa baru diajak berkeliling menggunakan sepeda lalu di saat yang sama ditetapkanlah Duta Sepeda.
Di zaman perkembangan teknologi yang kian pesat ini, orang-orang berlomba-lomba membeli sepeda motor dan mobil yang semakin murah saja harganya. Becak berubah wujud menjadi becak motor (bentor). Penjual sayur, ikan, jamu dan sejenisnya beralih menggunakan sepeda motor. Siapa yang mau berlelah-lelah mengayuh sepeda. Apapun alasannya, menggunakan kendaraan bermesin jauh lebih enak dan praktis. Tidak peduli apakah lingkungan berubah jadi monster polusi suatu saat kemudian.
Akibatnya, pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota Makassar, terbilang amat pesat. Berdasarkan data Samsat Makassar, jumlah kendaraan bermotor pada 2016 tercatat 1.425.151 unit atau bertambah 87.009 unit dibandingkan 2015. Laju pertumbuhan kendaraan bermotor tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan di kota Makassar. Hal itu tentu memicu kemacetan jalan.
Kini, kita hanya bisa menaruh harapan besar kepada pembuat kebijakan. Agar kaum pesepeda, utamanya mahasiswa yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi ke kampus mampu diberi ruang nyaman dan aman ketika berkendara.
Ketika perjalanan menuju kampus, saya selalu membayangkan. Betapa indahnya mata memandang apabila setiap pagi hingga petang, di antara pepohonan yang rindang, terlihat mahasiswa mengayuh sepeda, bersenda gurau di jalanan tanpa terdengar suara bising knalpot kendaraan.
Memang benar apa kata Steve Jobs. Komputer tidak jauh berbeda dengan sepeda. Mereka adalah alat luar biasa yang pernah ada.(*)