[REVIEW] Awal 2018, Cantik Itu Luka Sebagai Pembuka yang Manis

12383582_1109058089112565_892991704_n
http://www.imgrum.org

Tahun lalu, 2017 yang penuh kenangan, target baca saya tampaknya jauh dari kata memuaskan. Seperti kebanyakan pemuda pemudi jaman sekarang yang lebih banyak menghabiskan waktu di depan gadget daripada membaca buku. Seperti kebanyakan pula mahasiswa tingkat akhir yang lebih banyak bermain di depan laptop, mengetik dan menganalisa tulisan skripsi. Begitulah kebanyakan kerjaan saya hingga akhir 2017.

Lalu tahun ini, 2018 yang akan penuh kejutan, sepertinya saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk membayar utang-utang di tahun kemarin. Ialah menghabiskan setidaknya 30 buku bacaan.

Ini buku pertama yang berhasil kulahap dalam dua minggu di awal tahun 2018 dengan ketebalan 478 halaman. Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan. Hasil buruan buku di Jogja Desember kemarin, yang sejak lama ingin sekali kuhabisi, yang hanya kudengar jejak kabarnya tanpa kuketahui keberadaannya.

Saat saya membaca buku ini, sudah cetakan kesebelas pada Agustus 2016 sejak diterbitkan pertama kali pada Mei 2002. Tapi jangan salah, meski sudah bertahun-tahun telah terbit dan mengalami dua hingga tiga kali pembaharuan cover, novel ini masih banyak dicari-cari dikalangan anak muda dan aktivis mahasiswa.

Seperti novel-novel lain Eka Kurniawan yang menggugah selera saya lahir batin, novel satu ini benar-benar membuat saya ngeri, merinding. Menceritakan seorang perempuan di akhir masa kolonial yang dipaksa menjadi pelacur. Perempuan itu bernama Dewi Ayu –diberi nama pribumi namun keturunan Belanda. Ia melahirkan tiga perempuan cantik dengan Ayah yang berbeda-beda, dan satunya lagi perempuan berwajah buruk rupa. Rupanya, mereka berempat bernasib malang akibat dendam kesumat makhluk jahat yang terus mengikuti Dewi Ayu.

Membaca novel ini saya teringat sosok Nyai Ontosoroh dalam novel tetralogi buruh Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Sosok perempuan kuat, tangguh dan memiliki kepribadian yang tenang.

Jika Pram menuliskan novelnya dengan gaya jurnalisme sastrawi, Eka lebih suka menulisnya dengan  gaya parodi. Lewat alur cerita yang sedemikian runtut, jelas, dan sangat meyakinkan, saya berpikir Eka Kurniawan menyajikan sejarah dengan begitu apik. Beliau memfiksikan fakta sejarah.

Saya seperti membaca buku sejarah dengan bacaan yang menggiurkan. Sejarah kelam bangsa Indonesia sejak akhir masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Bagaimana aktivis-aktivis PKI yang dibantai dengan cara mengenaskan. Para tahanan yang dikirim ke penjara paling mengerikan. Perempuan-perempuan dipaksa menjadi gundik dan menghancurkan kisah cinta mereka bersama sang kekasih.  Semuanya telah terwakilkan dalam cerita ini.

Lewat buku-buku Eka Kurniawan, laiknya novel “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas” dan “O” yang telah saya baca, saya menemukan banyak sekali tokoh-tokoh dengan berbagai macam karakter yang Eka ciptakan. Tidak tanggung-tanggung, setiap tokoh diceritakan panjang lebar tanpa merasa takut cerita ‘kegemukan’ atau alur yang melebar kemana-mana.

Novel Cantik Itu Luka telah diterjemahkan ke dalam 28 bahasa. Nyatanya, novel ini juga memenangkan penghargaan perdana “World Readers”.

Dan pada akhirnya, saya harus mengakui kelihaian sastrawan idola satu ini dalam menulis. Lewat novel Cantik Itu Luka telah memberikan banyak pelajaran, bahwa sebagaimana paras cantik seorang perempuan, tentu banyak lelaki yang ingin memilikinya, menjadikan istri atau bahkan hanya sebagai gundik atau teman tidur saja. Sebagaimana paras cantik seorang perempuan, selain anugerah yang diberikan Tuhan ia juga merupakan ujian yang harus dilalui. Bagiku, dalam novel ini, kecantikan seorang perempuan di masa kolonial tidak berarti apa-apa selain membuat luka.

Tak elok jika saya menceritakan isi novel ini secara keseluruhan. Sebab, ceritanya tidak akan terasa lengkap jika bukan Eka sendiri yang menceritakannya.

Rabu, 17 Januari 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *