Di masa pandemi ini, ketika orang-orang bosan tinggal di rumah, aku malah terlalu mager jika disuruh keluar rumah. Meskipun itu hanya sebentar. Tinggal di rumah dan gak kemana-mana itu sudah mendarah daging. Aku suka beraktivitas dalam rumah. Masak-masak, ngerjain soal-soal TOEFL, bikin konten, ngedit berita, nonton youtube, drama, movies yang barangkali gak bisa kamu dapetin jika sedang berada di luar.
Makanya, semenjak ada imbauan untuk stay at home, social distancing, aku malah kegirangan. Makin banyak kesempatan aku untuk menyiapkan diriku buat nikah, eh S2 maksudnya. Kamu tahu, aku tipe orang yang introvert, suka banget “me time” dan menyendiri dalam kamar. Aku lebih suka merenung daripada ngobrol sama orang. Makin banyak aku merenung, makin banyak ide-ide yang muncul. Dan kepikiranlah aku sama yang namanya ngejar beasiswa S2. Hemmm…
Ternyata ngejar beasiswa itu gak gampang sahabat. Banyak banget hal yang mesti aku persiapin. Contohnya, kemarin aja aku baru test TOEFL resmi secara online. Di mana hal ini seharusnya udah aku lakuin lama setelah aku pulang dari Pare, tapi karena Coroncis ini semuanya tertunda. Beruntung banget di masa serba internet ini, ada fasilitas buat ngerjain test TOEFL secara online di rumah. Dan bagiku ini lebih efektif daripada ngerjain soal secara langsung di lembaga kursus atau kampus.
Kenapa aku ngotot banget buat melajutkan kuliah. Bukan karena belum ada yang ngelamar, bukan. Tapi karena emang dari dulu aku suka sama yang namanya belajar. Aku suka suasana kuliah, aku suka dengar dosen menjelaskan (meski kadang ada bosannya) dan aku selalu excited buat menerima pelajaran baru. Bagiku, ilmu pengetahuan itu penting banget. Apalagi di saat belum nikah nih, adalah waktu yang tepat buat belajar banyak hal. Aku gak mau pas udah nikah nanti disibukkan dengan ngurus presentasi, makalah, tesis, dan lain-lain sementara urusan rumah tangga terbengkalai. Aku gak mau hal itu terjadi.
Beberapa hari yang lalu, dosen saya waktu S1 mengabari soal beasiswa luar negeri khusus alumni PTKIN. Dosen saya ini, namanya Ibu Rahma, yang selalu aku panggil Bunda. Ia emang tipe dosen yang selalu mendorong alumni-alumni yang pernah ia ajar untuk bisa melanjutkan studi dengan beasiswa. Waktu kuliah dulu, banyak banget nasehat-nasehat yang beliau kasih. Sampai lupa apa aja. Yang paling jelas yang aku ingat itu, dia nyaranin buat melanjutkan S2 di luar negeri dengan kapasitas aku yang ga oke-oke amat. Katanya sih, aku berbakat, padahal aku cuma aktif dibeberapa organisasi aja dan bahasa inggrisku waktu itu ga bisa disebut keren.
Kata dia, “gak usah takut gak nikah cuma karena kuliahmu tinggi. Di luar negeri itu banyak bule-bule yang masih muda tertarik sama perempuan yang lebih tua.” Busyeett dah… gue disuruh nikah sama bule brondong wkwkwk…Waktu bunda bilang begitu, ia tertawa puas, sementara aku merajuk kesal. Aku tersinggung dong karena dibilang tua.
Tapi setelah itu dia langsung bilang, “tapi kamu cantik, masa gak ada yang mau sama kamu,” dan setelah itu mood ku kembali membaik. Bunda emang pinter memperbaiki suasana.
Sebenarnya, sebelum aku ditawari beasiswa ini, udah jauh hari aku menyiapkan beasiswa lainnya. Pertama itu, beasiswa Australian Award Sholarship (AAS). Aku udah milih beberapa universitas Australia yang bisa aku apply dan jurusannya relate sama aku. Tapi entah kenapa aku malah gak pede buat daftar beasiswa ini di tahun ini. Masih banyak hal yang perlu di prepare-in. Contohnya test toefl itu yang belum tentu aku bisa capai score minimumnya. Aku masih merasa harus belajar inggris lebih banyak lagi. Belajar di pare selama 5 bulan itu gak cukup buat aku. Aku juga mesti mempersiapkan IELTS, menulis essay, dan lain-lain. Makanya beasiswa ini aku skip dulu.
Nah, setelah beasiswa AAS, aku menemukan beasiswa CRCS UGM yang persyaratannya lebih mudah. Tapi, setelah berdiskusi dengan Bunda, ternyata beliau menyarankanku untuk tidak mengambil beasiswa ini. Karena ini gak ada hubungannya dengan jurusan S1 aku. Padahal aku sudah memberikan format rekomendasi ke beliau dengan penuh harapan dapat lolos. Kenapa aku yakin banget bisa diterima di beasiswa ini, meski aku tahu ini gak berhubungan dengan jurusan aku, tapi CRCS UGM ini emang butuh jurnalis atau reporter buat kerja di bagian publikasinya. Mengingat ini amat sangat berhubungan dengan pekerjaan aku sebagai reporter dan editor di sebuah media. Tapi, kata bunda, jurusan S2 dan S1 yang gak relate sama sekali bakalan sia-sia doang. Ya, terpaksa deh harus skip beasiswa ini.
Dalam perjalanan aku mengejar beasiswa ini, kadang aku mikir, mending di Unhas aja deh. Aku udah ngobrolin ini sih sama bapak. Bapak udah bersedia untuk bayarin biaya per semester untuk kuliah di sini. Tapi, aku malah mikir gak mungkin dong aku pake uang bapak lagi hanya karena keegoisanku buat lanjut kuliah. Akhirnya, aku melewatkan pendaftaran di Unhas dan kembali ke jalan lurus, yaitu ngejar beasiswa lagi. Aku tahu ini gak mudah. Tapi aku gak mau gampang nyerah. Aku udah sejauh ini, masa mau nyerah sih.
Walaupun suatu saat aku akhirnya dilamar sama pangeran impian gue *asiiiik, aku tetap pengen lanjut S2 sih. Yang penting kita satu pemikiran dulu, saling dukung, saling support, apapun yang terjadi kita bisa sama-sama terus. Tapi…kemana sih pangerannya? kok ga nongol-nongol?