Media sosial telah menjelma jadi kebutuhan primer setiap individu. Setiap harinya, platform yang berfungsi untuk memudahkan komunikasi dan memperoleh informasi ini adalah barang utama yang selalu di akses. Namun, seiring berjalannya waktu, penggunaan media sosial tidak lagi berada dalam jalur sebenarnya. Media sosial yang diharapkan sebagai alat komunikasi jarak jauh, kini menjadi tempat ujaran kebencian, yang awalnya sebagai pusat informasi menjadi pusat disinformasi, propaganda politik, memicu adiksi berlebihan dan bahkan merusak kesehatan mental.
Film dokumenter “The Social Dilemma” yang dibuat oleh Jeff Orlowski menceritakan dampak buruk media sosial atau dunia maya. Dalam dokumenter ini menampilkan wawancara beberapa mantan pekerja teknologi di Silicon Valley seperti Tristan Harris, Aza Raskin, Justin Rosenstein, Jeff Seibert, Sandy Parakilas, Tim Kendall, dan juga narasumber di bidang teknologi maupun psikologi lainnya. Secara terang-terangan, mereka membongkar bagaimana media sosial bekerja dan mempengaruhi aktivitas manusia.
“Kita telah berubah dari era informasi menjadi era disinformasi. Alat yang di ciptakan hari ini mulai mengikis struktur sosial dari cara kerja masyarakat.” Demikian kata Tim Kendall, Facebook Former Executive & Pinterest Former President.
Lantas, apa saja yang dibongkar dalam dokumenter ini? Mari kita melihat satu per satu bagaimana mereka menunjukkan sisi lain media sosial dan kaitannya dengan fenomena di Indonesia.
Manusia adalah Produk yang Dijual
Selama ini, kita berpikir bahwa Google hanyalah kotak pencarian biasa yang mudah dan gratis, sementara media sosial hanya sebagai hiburan atau tempat berbagi informasi saja. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa ada sekelompok orang di balik layar yang sedang bersaing memikat perhatian kita. Dia lah sang pengiklan. Karena kita tidak membayar media sosial yang kita gunakan, maka pengiklanlah yang membayar produk yang kita gunakan.
Jadi, “pengiklan adalah pelanggannya, kitalah yang dijual,” kata Aza Raskin, mantan pegawai laboratorium Firefox dan Mozilla.
Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan strategi bisnis media massa yang saat ini telah bertransformasi ke bentuk digital. Untuk tetap hidup dan bertahan, media massa akan meraup keuntungan dari iklan. Mereka berlomba-lomba menampilkan berita eksklusif dan menarik minat audiens untuk meningkatkan jumlah viewers di portal berita mereka. Lantas, jumlah viewers tersebut akan di jual ke pengiklan. Semakin tinggi jumlah pembaca, semakin banyak pula iklan yang terpasang, serta semakin tinggi pula keuntungan yang diperoleh.
Jaron Lanier, seorang penulis buku ‘Ten Arguments for Deleting Your Social Media Accounts Right Now’ mengatakan bahwa perubahan perilaku dan persepsi kita ketika berada di dunia maya adalah produknya. Perhatian kita adalah produk yang dijual ke pengiklan. Dengan kata lain, media sosial mengubah cara kita berperilaku, berpikir, dan mengubah jati diri kita, dan itulah yang mereka inginkan.
Manusia Sebagai Boneka Voodoo bagi Media Sosial
Bagi media sosial, kita tak lebih dari sekadar boneka voodoo yang dapat dikendalikan. Mereka membangun sebuah model seperti boneka voodoo yang memprediksi tindakan kita.
Media sosial dapat membuat kita berlama-lama menatap layar ponsel tanpa mempedulikan dunia luar. Mereka tahu apa yang kita lakukan di internet, mengawasi, melacak, dan mengukur tindakan kita. Misalnya, jenis gambar apa yang kita lihat di media sosial dan berapa lama kita melihatnya.
Menurut Tristan Harris, mantan pakar etika desain Google, siapapun yang punya model terbaik akan menang. Semua klik yang kita tekan, video yang kita tonton, tombol suka, dll semuanya diolah untuk membangun model yang lebih akurat. Setelah modelnya ada, mereka bisa memprediksi hal-hal yang dilakukan seseorang.
Ada tiga tujuan utama perusahaan teknologi tersebut, pertama untuk menaikkan penggunaan media sosial agar terus menggulirkan layar ponsel kita, mengundang banyak teman untuk bergabung di sosial media, dan ada tujuan iklan di dalamnya. Dan seiring semua itu terjadi, maka mereka akan menghasilkan uang sebanyak mungkin dari iklan. Masing-masing tujuan ini ditenagai oleh algoritma yang bertugas mencari tahu apa yang harus ditunjukkan agar jumlahnya terus naik.
Teknologi persuasif ini semacam desain yang sengaja diterapkan secara ekstrim agar bisa mengubah perilaku seseorang.
Di media sosial, seperti facebook, instagram, twitter, ketika kita menarik layar atau menyegarkan layar ke bawah, maka akan muncul postingan baru di atasnya. Postingan baru tersebut adalah prediksi tentang konten yang barangkali kita sukai. Jika kita mengklik konten yang direkomendasikan, maka mereka akan menampilkan konten yang serupa dan membuat kita lebih berlama-lama di media sosial.
Media sosial juga selalu menampilkan fitur baru dan membuat kita nyaman. Misalnya, fitur filter instagram yang membuat wajah kita menjadi lebih glowing. Standar kecantikan yang selama ini diperlihatkan di internet membuat kita juga ingin tampil cantik di media sosial. Filter instagram seperti itu memenuhi keinginan penggunanya. Kemudian tombol likes dan komentar yang memberikan kebebasan pengguna untuk berlama-lama berinteraksi di media sosial.
Tak hanya itu, mention atau tag foto juga adalah fitur terbaru yang disediakan. Jadi, jika kita menerima notifikasi yang menyebutkan ‘temanmu baru saja menandaimu di foto’, maka tentu kita akan segera membuka media sosial itu dan melihat foto apa yang dimention. Saat facebook menemukan fitur itu, mereka memaksimalkannya. Sebab mereka menganggap bahwa hal itu akan menumbuhkan aktivitas penggunanya.
Di sisi lain, ada juga tim teknisi yang bertugas meretas psikologi orang agar mendapat pertumbuhan pengguna yang lebih banyak atau dalam bidang ilmu baru disebut ‘Growth Hacker’. Dalam bisnis marketing, Growth Hacking ini digunakan sebagai strategi kreatif berbiaya rendah untuk mendorong bisnis dalam mendapatkan dan mempertahankan customer. Siapapun yang terlibat dalam suatu produk atau layanan, bisa menjadi Growth Hacker. Namun, di bidang teknologi, ada growth hacker yang fokus memperhatikan gerak gerik kita di media sosial. Seperti memprediksi tontonan yang kita sukai sehingga mengundang lebih banyak orang untuk bergabung di media sosial.
Social Media is a Drug
“There are only two industries that call their customers ‘users’: illegal drugs and software.” -Edward Tufte
Rata-rata berapa jam per hari anda menghabiskan waktu berselancar di media sosial? Satu jam? Tiga jam? atau lebih dari empat jam sehari?
Indonesia selalu masuk dalam daftar negara yang paling banyak menggunakan media sosial. Baik di Instagram, Facebook, Twitter, dan platform lainnya. Berdasarkan data yang dihimpun dari GlobalWebIndex pada kuartal I-2020, Indonesia menjadi kedua tertinggi di Asia dengan penggunaan media sosial paling lama, yakni 3,3 jam dalam sehari. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, atau Korea Selatan, mereka hanya menghabiskan sekitar satu jam per hari.
Dr Anna Lembke dari Stanford University School of Medicine Medical Director of Addiction Medicine secara gamblang mengatakan bahwa media sosial itu seperti obat terlarang (narkoba). Kita mempunyai perintah biologis dasar untuk terhubung dengan orang lain membuat ada pelepasan dopamine, sebuah bentuk penghargaan untuk diri sendiri.
Ini bagian dari evolusi jutaan tahun pada sebuah sistem untuk kita hidup di komunitas, menemukan teman, dan mempengaruhi yang lain juga. Maka tidak diragukan lagi, media sosial seperti kendaraan untuk mengoptimalkan koneksi antar manusia. Dan sudah pasti ada potensi besar untuk kecanduan.
Apa yang dikatakan Anna memang terbukti. Kita akan sulit keluar dari lingkaran ketertarikan kita dengan dunia maya. Sebab kita membutuhkan apa yang ada di dunia maya sebagai kebutuhan yang sifatnya hanyalah sesaat. Seperti yang dikatakan Chamath Palihapitiya, mantan Vice President of Growth Facebook, “tanpa disadari, kita membentuk hidup kita pada sebuah perasaan kesempurnaan karena kita mendapatkan reward dalam bentuk emoticon hati, likes, dan kita menggabungkan semua perasaan tersebut dengan nilai, dengan kebenaran. Padahal jelas, ini adalah kepalsuan. Mungkin seharusnya bersifat sesaat tapi sebentar kemudian kita merasa perlu melakukannya lagi. Lalu kita posting kembali untuk mendapatkan reward tersebut. Seperti lingkaran setan.”
Media Sosial Pengaruhi Kesehatan Mental
Sebuah penelitian yang dilakukan Sujarwoto dan Gindo Tampubolon terhadap 22.423 orang Indonesia mengenai dampak media sosial pada kesehatan mental, menunjukkan bahwa media sosial sangat berbahaya bagi orang dewasa.
Penelitian berjudul “A Tool to Help or Harm? Online Social Media Use and Adult Mental Health in Indonesia” ini menganalisis variabel instrumen data dari Indonesia Family Survey (IFLS) 2014. Studi ini melihat pengaruh media sosial meliputi Facebook, Twitter, obrolan atau chat terhadap kesehatan mental orang dewasa di Indonesia. Hasilnya, penelitian ini menyimpulkan penggunaan medsos yang berlebihan berbahaya bagi kesehatan mental karena dapat menyebabkan depresi. Peningkatan penggunaan media sosial dikaitkan dengan peningkatan skor CES-D atau skala depresi pada seseorang sebesar 9 persen.
Fenomena menatap layar handphone berlama-lama memang telah menjadi budaya di Indonesia. Di kampus misalnya, tidak jarang kita melihat para mahasiswa menatap layar ponselnya entah dalam keadaan sendirian atau bersama dengan teman-teman. Teknologi layar ini membuat manusia ketergantungan pada layar, bahkan jika ponsel atau laptop sedang rusak atau hilang, maka dia repot bahkan gelisah karena semua urusan diletakkan di sana, mulai dari agenda harian sampai pada tugas-tugas penting lainnya.
Ketergantungan teknologi ini tidak hanya merusak psikis tetapi juga fisik. Dampak secara fisik, misalnya masalah penglihatan dan masalah tidur sebab menatap layar terlalu lama akan membuat mata kelelahan. Sedangkan masalah psikologis yang dapat muncul adalah cyberbullying, adiksi berlebihan, keterampilan sosial yang kurang baik, dan merasa kesepian.
Selain itu, penggunaan media sosial secara berlebihan juga bisa berdampak negatif pada gambaran diri yang kurang baik. Hal ini dapat terjadi karena individu seringkali membandingkan dirinya dengan orang lain yang mereka lihat di media sosial. Jika hal ini terus terjadi maka tidak menutup kemungkinan muncul masalah psikologis seperti kecemasan dan depresi.
Melawan Intelegensi Artifisial, Bukan Pertarungan yang Adil
Intelegensi Artifisial (IA) sudah menguasai dunia saat ini. Bayangkan kita membuka Facebook dan bermain melawan Intelegensi Artifisial ini yang tahu semuanya soal kita, mengantisipasi langkah kita berikutnya, sementara kita tidak tahu apa-apa selain menonton video yang telah direkomendasikan algoritma. Ini tentu saja bukan pertarungan yang adil.
Rekomendasi algoritma pada dasarnya adalah sebuah perangkap yang sangat kuat untuk mencari tahu hal apa yang paling sesuai dengan minat kita. Misalnya, seseorang yang mempercayai teori konspirasi akan terus disuguhi oleh hal yang serupa berulang kali. Algoritma akan terus menerus memberikan informasi yang berbeda-beda berdasarkan apa yang kita percayai, bahkan berita hoax sekalipun. Dan lagi-lagi ini merupakan model bisnis yang mencari profit dari disinformasi. Disinformasi terus menerus ditonton karena dirasa lebih menarik daripada kebenaran.
Baru-baru ini teori konspirasi yang marak terjadi adalah terkait Covid-19 yang dibawa dan dinarasikan berbagai pihak. Mereka menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyampaikan teori konspirasi yang dipercayainya. Narasi-narasi tersebut dibangun dan disebarkan hingga mengajak orang lain ikut mempercayainya. Misalnya, penemuan obat herbal Hadi Pranoto yang dapat memperkuat antibodi dan bahkan bisa menyembuhkan seseorang dari Covid-19. Nama Hadi Pranoto mulai marak diperbincangkan usai muncul dalam video milik kanal youtube seorang artis. Namun, penemuan obat ini dianggap bermasalah karena tidak memiliki landasan saintifik yang jelas.
Tak hanya itu, Musisi punk rock, Jerinx atau JRX sempat menjadi perbincangan banyak orang terkait berbagai macam teori konspirasinya. Salah satunya yang paling menyita perhatian publik adalah virus corona buatan elite global. Penganut teori tersebut meyakini bahwa Covid-19 adalah salah satu alat kontrol elit global agar tetap berada di puncak piramida ekonomi dan politik dunia. Tak hanya membangun narasi, tetapi JRX juga mengajak orang untuk menolak ajakan rapid dan swab test yang tidak bisa mendeteksi virus corona tersebut.
Fenomena keyakinan atas teori konspirasi memang akan terus berseliweran di media sosial karena umumnya terdapat banyak informasi yang berceceran dan berbeda. Orang pun semakin ingin mencari penjelasan utuh dari informasi yang ada. Teori konspirasi pun datang menyelinap sebagai kabar alternatif untuk mengakomodasi kebutuhan akan informasi yang saling berkaitan tersebut. Hal inilah yang memicu algoritma untuk terus merekomendasikan informasi informasi yang kita butuhkan.
Lantas, apakah kita bisa keluar dari masalah ini?
Para pakar teknologi masih meragukan apakah manusia bisa melawan Artificial Intelligence yang mereka buat sendiri. Satu dari mereka mengatakan bahwa saat ini sangat sulit untuk merubah keadaan, kecuali ada keajaiban untuk mengeluarkan kita darinya. Keajaiban itu adalah keinginan bersama. Sebagian lainnya merasa optimis dapat menemukan solusi, namun tentu akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Sebab tak semua orang menganggap bahwa keberadaan internet dan media sosial sebagai sebuah masalah yang harus dipecahkan.
Untuk itu, perlu adanya kesadaran para pengguna media sosial untuk bisa bersama-sama melawan kekuatan teknologi yang semakin gencar menimbulkan dampak buruk. Salah satu yang bisa dilakukan seperti mengurangi penggunaan media sosial. Meskipun terdengar sangat sederhana namun sebenarnya akan sangat susah keluar dari lingkaran ini, apalagi seseorang yang sudah menggantungkan hidupnya dengan teknologi.
Ada beberapa saran yang diusulkan para pakar teknologi ini untuk mengurangi penggunaan media sosial, seperti menghapus aplikasi ponsel yang tidak penting, mematikan semua notifikasi di ponsel karena akan mengundang kita untuk membukanya jika berbunyi, memakai search engine lain selain google yang tidak menyimpan riwayat pencarian kita, tidak menerima video rekomendasi di YouTube karena kita akan menciptakan insentif keuangan yang melanggengkan sistem yang ada, serta tidak membiarkan anak-anak untuk menggunakan ponsel atau memberikan mereka aturan terkait penggunaannya.(*)
Referensi:
Artikel
Ziakis, C. & Vlachopoulou M. (2020). Growth Marketing Strategies in the Early Stages of Start-ups. University of Macedonia.
Website
CNN Indonesia. (2019). Medsos Sebabkan Gangguan Mental pada Orang Indonesia. Available at: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190626100119-255-406497/medsos-sebabkan-gangguan-mental-pada-orang-indonesia (Diakses: 26 September 2021)
Katadata. (2020). Penduduk Indonesia Gunakan Media Sosial 3,3 Jam per Hari. Available at: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/25/penduduk-indonesia-
gunakan-media-sosial-33-jam-per-hari (Diakses: 25 September 2021)
Film Dokumenter
Orlowski, J. (2020). The Social Dilemma [Film Dokumenter]. Netflix.