Pagi itu, kebiasaan saya sebelum keluar liputan, saya mencuri waktu untuk browsing di internet terkait bahan-bahan liputan yang akan kutulis. Kebiasaan itu kulakukan di rektorat kampus. Tiba-tiba saya teringat sebuah tweet yang disebarkan oleh salah seorang senior di grup WhatsApp.
Tweet itu ditulis oleh redaktur media online yang cukup terkenal. Dalam tweetnya, ia menginformasikan bahwa medianya membutuhkan jurnalis freelance di bidang pengolahan data. Tak pelak, saya segera membuka akun twitter yang bersangkutan melihat secara detail informasi tersebut. Yang diperlukan hanyalah Curriculum Vitae (CV) dan contoh tulisan. Kemudahan ini lantas membuat saya tertarik untuk mencobanya. Tanpa banyak berpikir, saya lalu mengirim CV dan contoh tulisan saya yang telah terbit di koran terkait data BPS Neraca Perdagangan ke email yang bersangkutan.
Tak lama kemudian, sebuah balasan muncul. Ia mempertanyakan apakah tulisan yang saya buat merupakan tulisan asli dan apakah sudah pernah dipublikasikan. Setelah percakapan via email yang menginformasikan bahwa ia akan menelepon saya beberapa jam ke depan, membuat saya girang. Sebuah tanda, bahwa saya akan diterima bekerja sebagai jurnalis freelance. Saya berpikir bahwa menjadi jurnalis freelance tidak akan mengganggu pekerjaan saya sebagai jurnalis tetap di media.
Ya, sesuai dengan janjinya, ia menelpon saya via Whatsapp Video Call. Namun sayangnya, jaringan tidak terlalu bersahabat saat itu. Komunikasi pun terputus dan berganti panggilan telepon. Suara lembut seorang wanita dengan dialek Jakarta terdengar.
“Apa benar ini dengan Nurfadhilah?”
“Benar, Mbak,” jawab saya. Saya pikir, ini adalah wawancara singkat untuk membicarakan kesepakatan-kesepakatan sebelum mulai bekerja.
“Saya telah membaca CV dan tulisan yang Nurfadhilah kirim. Saat ini sedang bekerja di media cetak, ya?”
“Benar, mbak.”
Tulisan yang anda kirim apakah tulisan anda? Pernah dimuat dimana? Apakah pernah mengolah data? Data apa saja yang anda olah? Sering menggunakan microsoft excel, dan banyak hal teknis mengenai skill saya dibidang kepenulisan yang ditanyakan olehnya. Saya tentu menjawab dengan penuh keyakinan seperti yang diharapkan kebanyakan orang saat melamar pekerjaan.
Lalu tiba pada pertanyaan, apakah saya bersedia meninggalkan pekerjaan saya saat ini dan berangkat ke Jakarta untuk bertemu langsung dengannya. Dia mengatakan, meskipun bekerja sebagai freelance tetap saja ia harus bertemu secara langsung. Saya cukup terkejut sebab tak menyangka pekerjaan itu membuat saya harus meninggalkan pekerjaan saya yang lama dan bahkan meninggalkan Makassar dan tinggal di Jakarta.
Saya bilang kalau hal itu akan saya pikirkan baik-baik. Tentu tidaklah mungkin mengambil keputusan berat saat itu juga. Ia pun memberi saya waktu hingga besok untuk mempertimbangkan. Ia juga bilang, keputusannya untuk menerima saya bekerjasama dengannya lantaran saya memiliki potensi di bidang itu.
Pihaknya akan mengontrak saya selama 4 bulan dengan gaji minimal UMR Jakarta. Menurutnya, hal itu sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari selama di Jakarta. Tapi, bagi saya tidak. Pengalaman saya tinggal selama dua bulan tahun 2016 kemarin membuat saya berpikir ulang akan bekerja di Kota Metropolitan itu. Ia juga bilang kalau gajinya bisa dinegosiasikan berdasarkan kemampuan dan akan terus meningkat berdasar lama bekerja.
Ini memang kesempatan yang bagus jika saya ingin mengembangkan karir sebagai jurnalis di media berkelas seperti itu. Tapi, saya memiliki beberapa pertimbangan. Pertama, orang tua saya tentu saja enggan mengizinkan. Bukan persoalan gaji dan karir, melainkan kebutuhan hidup yang begitu sulit. Lagipula, perekonomian keluarga saya saat ini sangat mencemaskan. Saya tidak punya alasan lagi untuk tidak menolak kesempatan itu.
Kedua, saya tidak mungkin meninggalkan pekerjaan saya sekarang. Saya baru bekerja selama 6 bulan. Dengan meninggalkan media itu, saya merasa tidak enak, meskipun tidak salah sebenarnya. Saya mulai berkarir sebagai jurnalis di tempat itu dan menjadi wadah saya untuk menambah pengalaman serta banyak belajar. Saya bukanlah tipe orang yang berpindah tempat kerja hanya dengan alasan gaji yang lebih tinggi. Kecuali, di tempat itu menawarkan lebih banyak pengalaman dan juga pelajaran.