Coaching NBS, Jadi Relawan Anak

IMG-20170827-WA0009
Foto bersama relawan dan peserta coaching Nulis Bareng Sobat di Gedung ACT, Jalan Sultan Alauddin Makassar. Sabtu 27 Agustus 2017

“Ketika kita berbuat baik kepada orang lain, maka kebaikan-kebaikan itu akan kembali kepada kita.”

Sebuah hukum alam yang terjadi dalam kehidupan kita tanpa disadari. Ketika kita menebar hal-hal positif, maka semesta akan mengembalikan energi-energi positif itu kepada kita. Dalam al-qur’an Surah Al-Isra’ ayat 7 mengatakan, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.”

Itulah mengapa saya tidak takut mengeluarkan tenaga, waktu dan pikiran untuk ikut bergabung menjadi relawan atau volunteer. Terdengar keren memang melabeli diri sebagai seorang relawan. Tapi bukan itu alasan yang tepat mengapa menjadi seorang relawan adalah pilihan bagi kebanyakan orang.

Menjadi pribadi yang lebih baik tentu adalah cita-cita semua orang. Tapi tidak semua orang bisa melakukannya. Setidaknya, itu salah satu alasan saya bergabung di Nulis Bareng Sobat (NBS) yang merupakan program Komunitas Relawan Anak, Sobat Lemina. Tapi kenapa harus NBS?

Boleh dibilang, saya adalah pegiat media sosial. Aktif internetan setiap hari. Saya punya facebook, twitter, instagram, line, whatsapp dan blog. Semuanya aktif tanpa terkecuali. Ribuan informasi selalu kuperoleh dari media sosial itu, termasuk informasi pendaftaran relawan baru untuk program NBS di Instagram. Salah satu syarat yang tertera adalah menuliskan pengalaman di blog pribadi selama mendampingi anak-anak dalam belajar menulis. Saya tertarik. Menumbuhkan minat literasi harus bisa dimulai sejak dini. Kapan lagi saya bisa berbagi minat di dunia kepenulisan bersama dengan adik-adik selagi ada kesempatan.

Akhirnya saya mendaftar dan ikut coaching selama dua hari, yaitu 26 dan 27 Agustus 2017 di gedung ACT, Jl. Sultan Alauddin Makassar.

Hari pertama

Coaching dimulai pukul 9 pagi, sementara saya datang setelah ba’da duhur. Telat sekali! Budaya orang Indonesia yang tidak perlu dilestarikan. Meskipun melewatkan beberapa silabus materi, saya menyimak dengan serius dan penuh rasa penasaran. Penasarannya seperti apa?

Program NBS adalah salah satu program Komunitas Sobat Lemina yang sasarannya adalah anak Sekolah Dasar (SD). Background saya bukan pendidikan atau guru. Saya terbiasa bekerja di lapangan, bukan di kelas. Tapi di Komunitas ini, kita harus bisa menjadi teman belajar bagi adik-adik di sekolah. Kita harus mampu menjadi guru sekaligus sahabat bagi mereka.

Silabus keempat sedang berlangsung, yaitu penggunaan tanda baca. Jika dalam prakteknya, sudah tidak asing lagi bagi saya bagaimana meletakkan tanda baca dalam sebuah kalimat. Kalian pasti pun sudah paham pelajaran bahasa indonesia yang pernah diajarkan sewaktu SD. Tapi cara menyampaikan ke anak SD, itulah tantangan. Tingkat kosakata yang dimiliki siswa SMA, SMP, dan SD tentu berbeda sekali. Maka dari itu, kita harus bisa mencari kalimat-kalimat sederhana.  Hal yang terpenting adalah bagaimana anak-anak bisa paham apa yang kita ajarkan.

Belajar tanda baca, huruf kapital, paragraf, imbuhan, mengenal kalimat langsung dan tidak langsung adalah materi yang tidak akan dilewatkan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah. Lalu, untuk apa relawan NBS mengajarkan materi yang sama kepada mereka?

Tentu dengan metode pengajaran yang sama sekali berbeda. Metode yang selama ini diajarkan oleh guru, yakni ceramah, mendikte atau disuruh membaca buku bahasa indonesia secara bergiliran di kelas tidak akan digunakan. Nah, di coaching ini kita belajar meramu metode yang paling tepat untuk dipakai saat mendampingi adik-adik di sekolah. Salah satunya adalah belajar sambil bermain.

Setiap materi yang selesai dibahas, para peserta coaching diharapkan membuat metode pengajaran yang berhubungan dengan materi atau silabus yang telah dibahas. Setelah itu, setiap kelompok menerapkan metode tersebut dalam bentuk simulasi di depan forum pembelajaran. Simulasi berjalan seru dan menyenangkan karena dihidupkan oleh para relawan atau panitia yang menyamar sebagai anak SD agar suasana forum terasa seperti di sekolah.

Awalnya, saya merasa kikuk saat memulai simulasi. Karena yang paling menantang dalam simulasi ini adalah selain menyederhanakan kalimat, kita juga harus bisa bersikap manis dan berbicara lembut layaknya kita berbicara kepada anak-anak.

Di hari pertama, coaching berjalan dengan baik, seru, dan menyenangkan. Tidak sabar menunggu kejutan apa lagi yang akan diberikan panitia esok hari.

Hari Kedua

Di hari kedua, kami dibagi menjadi dua kelompok. Mengapa cuma dua kelompok? Untuk program NBS, Komunitas Sobat Lemina hanya memilih dua sekolah binaan. Hal itu memudahkan para relawan untuk fokus dalam melakukan pembinaan secara berkala. Satu di SD Negeri Paccinang Makassar dan satu lagi di SD IV Sungguminasa Gowa.

Setiap kelompok akan ditempatkan di salah satu sekolah binaan. Tentu saya memilih sekolah yang dekat dengan tempat tinggalku, yaitu di SD IV Sungguminasa. Nah, pertemuan NBS di sekolah diadakan selama dua belas kali, yakni dua minggu sekali setiap hari sabtu di jam pelajaran sekolah.

Dalam pertemuan tersebut, adik-adik akan didampingi dalam memahami materi yang diajarkan. Setelah itu, mereka akan menulis surat kepada sahabat pena dengan mengaplikasikan materi yang telah diajarkan sesuai tema. Mereka menulis lalu bertukar surat antar murid SD Pacinang dengan SD Sungguminasa. Ah, sangat menyenangkan berkirim surat dengan orang yang tidak dikenal dan suatu saat akan menjadi sahabat kita. Kuharap ada yang mau berkirim surat denganku juga!

Dalam coaching di hari kedua ini, selain meramu metode, kita juga diajarkan bagaimana mencairkan suasana di kelas dengan ice breaking. Jenis permainannya tentulah yang sesuai dengan kondisi siswa. Saya telah banyak menemukan konsep ice breaking dan menerapkannya di berbagai forum pelatihan, tapi belum pernah ke anak SD. Kira-kira bakal seperti apa ya nantinya?

Tidak hanya konsep ice breaking, di sini juga kita belajar memahami psikologi anak. Kondisi anak sangat beragam. Ada yang aktif, diam, cerewet, dan lain-lain. Dari keseluruhan kondisi itu, selalu ada cara yang dilakukan untuk menghadapi mereka.

Saya pernah mengajar anak SD sewaktu KKN. Capek teriak-teriak di depan kelas dan tidak ada yang mau mendengarkan. Saya pun melihat bagaimana guru di sekolah tersebut saat mengajar. Memarahi, membentak, bahkan memukul meja dengan penggaris besi tak jarang dilakukan. Dan menurutku, cara itu harus dilakukan agar murid-murid bisa diam. Tapi bukankah mendidik anak harus dengan perangai yang lembut?

Di sekolah dasar lain, ada murid yang membentak gurunya, mendorong, hingga sang guru menangis. Itulah mengapa menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah bagi saya. Menjadi seorang guru memiliki tanggung jawab yang besar. Selain harus mendidik anak di rumah, ia pun memiliki tanggung jawab mendidik anak di sekolah. Maka dari itu, menghormati guru adalah salah satu cara untuk membalas jasa mereka. Segalak-galaknya guru, tujuan mereka cuma satu, agar kita bisa menjadi anak yang berbakti.

Di akhir pertemuan, adik-adik akan menampilkan sebuah karya berdasarkan pengalaman mereka dalam belajar menulis. Tujuan adanya program NBS adalah menumbuhkan minat literasi adik-adik sekolah dasar. Dengan begitu, secara bertahap mereka akan membuat sebuah karya, entah itu dalam bentuk mading atau pameran yang tentu akan menambah semangat mereka dalam menulis.

Yuk, jadi relawan anak!

Gowa|01/09/2017|22:45 WITA

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *