Setahun Jadi Jurnalis, Apa yang Berubah?

source: beritagar.id

Bulan ini memasuki tahun kedua saya menjalani profesi sebagai jurnalis dengan dua media yang berbeda. Selama sembilan bulan, saya bekerja di media cetak, setelah itu saya pindah ke media online.

Awal-awal pindah, tepat di bulan Januari 2019, semua teman-teman jurnalis pada nanya, loh kok pindah? Ada masalah apa?

Pindah tempat kerja dari media satu ke media lainnya sudah merupakan hal lumrah di kalangan para jurnalis. Tapi, pertanyaan yang membuat heran teman-teman, kok saya pindah ke media kecil–yang kebanyakan orang memahami kalau media yang saya tempati sekarang gajinya sering mandek.

Iya, saya mengerti. Saya paham betul kondisi keuangan media online ini, bahkan jauh sebelum saya memutuskan pindah ke sini. Media cetak yang saya tempati dulu adalah media mainstream yang sebagian sahamnya dipunyai seorang tokoh di Makassar. Pegawainya banyak, gajinya lancar, manajemennya lumayan.

Tapi kawan, kita semua tidak membutuhkan itu, yang kita butuhkan adalah kenyamanan dalam bekerja. Orang-orang di dalamnya mampu memahami satu sama lain, tidak ada sekat-sekat dan semuanya berkumpul dalam lingkaran keluarga. Tidak semata gaji yang lancar mengalir lantas tak semengalir suasana di dalamnya.

Sudah mengerti ‘kan? Saya tidak mau terlalu banyak bercerita tentang ini. Intinya, kita harus bekerja sesuai dengan apa kata hati.

Baik. Lalu apa yang berubah setelah setahun menjadi jurnalis?

Banyak. Bertambah relasi, teman baru, cerita-cerita baru, pengalaman berharga, banyak mengenal tempat-tempat baru dan lain sebagainya. Tapi, bukan itu perubahan sesungguhnya yang kurasakan. Tapi bagaimana semua dinamika yang terjadi selama proses itu membuat kita lebih dewasa. Lebih memahami bahwa mencari biaya untuk hidup untuk diri sendiri saja susah banget, apalagi untuk menghidupi keluarga. Makanya, kita harus bekerja keras.

Bisa lebih mandiri dalam memutuskan segala hal. Apalagi saya saat ini tinggal di rumah orang tua, sehingga pasti selalu ada celah untuk meminta bantuan kepada Ayah. Beruntungnya, ketika berkali-kali aku mencoba keluar dari zona nyaman ini, Ayah tidak pernah membiarkan.

Suatu kesyukuran. Kenapa? Saya tipe orang yang gampang terpengaruh. Jangan sampai hal-hal buruk datang menimpaku lantas saya tidak bisa mengatasinya sendirian. Ah, saya teringat oleh salah satu teman saya yang nahasnya, dia tidak bisa mengendalikan dirinya karena pergaulannya dengan seorang lelaki. Akhirnya ia harus dirundung sedih berkepanjangan karena hamil di luar nikah. Oh Tuhan, ampuni kami.

Selain itu, menjadi jurnalis juga mengajarkan untuk tidak sering mengeluh. Kadang orang beranggapan bahwa menjadi seorang jurnalis itu capek, kesana-kemari ngejar narasumber eh ujung-ujungnya gak ketemu, tiba-tiba sampai di rumah, si narasumber malah bisa ditemui. Gimana gak ngeluh, ‘kan?

Tapi, saya yakin ini semua bagian dari proses yang suatu saat akan berakhir dengan sangat indah. Seperti kebanyakan kata orang-orang, sebuah proses tidak akan pernah mengkhianati hasilnya.

Gaji seorang jurnalis itu tidak seberapa. Tapi toh, selalu aja ada rejeki yang diberikan Tuhan. Nah, di sinilah kedewasaan kita diuji. Bagaimana kita bisa mengatur keuangan agar selalu bisa digunakan setiap hari.

Semenjak saya lulus kuliah, Ayah sudah lepas tangan terhadap kebutuhan hidupku. Saya dilatih untuk mencari uang sendiri. Tidak peduli mau beli apa, pokoknya harus cari uang sendiri.

Saya bukan terlahir dari keluarga kaya. Ayah saya hanya seorang PNS, Ibu saya honorer. Sementara saya punya adik empat. Tentu tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan satu keluarga. Saya adalah anak pertama yang sebaiknya tahu diri untuk segala hal yang menjadi kebutuhan adik-adik.

Saya akhirnya menikmati pekerjaan ini, apalagi didukung oleh teman-teman, keluarga dan kehadiran rekan sekantor yang baru. Jadinya, saya malah bersyukur. Di luar sana masih banyak orang yang pengangguran dan belum tahu mau bekerja sebagai apa.

Lagipula, dengan menjadi Jurnalis, saya bisa melanjutkan apa yang menjadi visi hidup saya; menjadi seorang penulis. Sederhana ‘kan? Nggak papa, yang penting bahagia.

Loh, bukannya Jurnalis itu juga penulis. Ya, beda. Jurnalis itu bekerja di bawah tekanan. Kalau penulis yang saya maksud, bekerja sesuai keinginan. Hehe… Menjadi penulis akan ada banyak jalan menuju kesuksesan.

Sungguh, saya merasa menjadi anak pertama itu benar-benar beban yang sangat berat. Ada begitu banyak tanggung jawab. Intinya, di masa muda saya saat ini, saya tidak ingin banyak berkeluh kesah melainkan harus banyak belajar, bekerja. Bukan untuk kebahagiaan saya sendiri, tetapi juga Ayah, Ibu dan saudara.

Semoga selalu ada jalan untuk segala niat baik. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *